Friday, October 20, 2017

Ketika Hujan

Hujan
senantiasa
mengantarkan
seporsi
kenangan
tentang
kamu


Denpasar, 20 Oktober 2017

~Catatan saat sedang tidak hujan diiringi The First Cut is the Deepest~

Tiada Lagu yang Pantas Untukmu

Tahukah kamu? Bahwa kamu sangat menyenangkan. Menyegarkan.

Maka, kucari lagu yang pantas buatmu. Kucari-cari tembang melankolis seperti yang kamu suka. Sayangnya, tidak kutemukan. Oh, bukan karena tidak ada lagu berjenis itu. Lebih karena tidak ada yang bisa mewakili kamu dalam lagu-lagu itu. Atau lebih tepatnya tidak ada yang mampu mengirimkan tanda perasaanku padamu? Pokoknya, tidak ada yang pas.

Barangkali bukan lagu yang pantas mendeskripsikanmu atau perasaanku. Barangkali iklan produk-produk Thailand yang bisa. Mereka sangat mellow, bukan? Cocok untukmu. Pantas untuk kita dan aku punya waktu seharian untuk menonton iklan-iklan itu bersamamu.

Menangislah kita bersama dan saat iklan usai, kita akan merasa bego telah menangis untuk sebuah iklan asuransi. Lalu, kita mulai menertawai diri kita masing-masing.

Kutegaskan, tidak ada lagu yang pas untukmu.


Denpasar, 20 Oktober 2017

~Catatan terinspirasi dari seorang kawan sambil dengerin Sweet Home Alabama~

Tuesday, September 12, 2017

Akhir Rindu

Ini Senin
Kukikis rinduku perlahan
Serpihnya berhamburan
Habis sudah oleh angin


~Catatan Senin 11 Sep 2017 sebagai kemantapan hati mengucap perpisahan yang tak bisa diungkap~

Sunday, August 27, 2017

Kubiarkan Saja (4)

Seminggu setelah kunjungan mendadak adiknya (yang sekaligus teman semasa kuliahku) ke rumah, aku tidak dapat berhenti memikirkan dia. Sungguhkah dia menunda-tunda pernikahan hanya karena merasa bersalah padaku? Sejak kapan rasa bersalah itu menghinggapinya? Apa dia benar-benar menjadi kacau setelah tidak lagi bersamaku? Apa benar-benar karena aku?

Aku raih handphone-ku dan mengetikkan namanya di kontak WhatsApp. Ya, aku masih saja menyimpan nomornya setelah lama berpisah. Aku tidak ada niatan sama sekali untuk menghapusnya karena aku percaya: membiasakan diri dengan satu hal yang menyakitimu akan membuatmu semakin kuat. Ah, ini dia. Dia online.

Aku berhenti sejenak di chat box, memikirkan apa yang akan kukatakan kepadanya. Jantungku berdebar karena ini akan jadi yang pertama kalinya sejak tujuh tahun lalu aku menghubunginya kembali. Apa yang akan aku katakan? Bahwa adiknya datang menuntut pertanggungjawabanku? Tidak. Pasti adiknya telah terbang ke Tangerang menemuinya segera setelah dari sini. Bahwa aku memaafkan dia atas kekonyolan yang dia perbuat padaku? Tidak, bukan itu. Dia tahu aku telah memaafkannya meski tak pernah terucap. Bahwa dia tidak usah merasa bersalah hingga menunda pernikahan? Bahwa dia tidak usah ragu menikahi siapapun itu? Hey, memangnya aku siapa mengatakan itu padanya? Tidak, bukan yang itu juga.

Bahwa aku masih sangat menyayanginya dan aku kangen?

Oh, tidak.

***

24 jam setelah aku kirim pesan WhatsApp, dia tidak juga membalasku. Dua centang biru telah terpampang jelas di sana. Kenapa dia tidak membalasku? Mungkinkah dia mengabaikanku? Dia mengabaikanku. Dia mengabaikanku. Dia mengabaikanku. Dia mengabaikanku dengan sengaja.

Prasangka ini membuat kepalaku tak berhenti berpikir hingga pusing. Decit sakit kurasakan nyata di dadaku. Aku pening sekaligus sedih.

48 jam. 72. 96. 120. 144. 168.

Aku mulai lelah menunggu seminggu. Dia tetap tidak membalasku. Sekali lagi, aku harus mengikhlaskan. Inilah yang dia mau: pergi dariku meski semesta berulang kali memaksa temu.


Saturday, August 26, 2017

RINDU

Tidakkah kamu rungu
Hatiku menjerit rindu
Mendamba satu temu


~Catatan Sabtu siang saat mendengar Cups oleh Anna Kendrick di radio~

Wednesday, August 23, 2017

Kubiarkan Saja (3)

Sudahkah cinta ini selesai?
Teka-teki kuajukan pada hatiku
Yang langsung saja gelisah
Mencari-cari
Berusaha memikirkan
Bagaimana menanggapi sang tanya

Sudah yang belum
Jawabnya tanpa ketetapan

Cinta ini usai
Tamat
Hanya saja dia butuh alasan
Perlu penjelasan
Keikhlasan dan maaf

Semua itu masih terhutang

Lagi, hatiku gelisah akan jawabannya sendiri

Kubiarkan saja
Kegelisahan ini
Cinta yang belum usai ini
Alasan, penjelasan, keikhlasan
Dan maaf
Apapun itu yang belum terlunaskan
Kubiarkan saja

Monday, August 21, 2017

Kubiarkan Saja (2)

Hari Minggu. Hari ritualku bangun siang. Seharusnya. Ya, seharusnya. Tapi hari Minggu kali ini aku terbangun  pagi-pagi karena mendengar sebuah suara. Suara itu adalah suara yang kurindukan. Datangnya dari arah dapur rumahku. Aku buru-buru ke luar kamar .

"Dudud!" pekikku sambil memeluknya erat.

"Apaan sih lu? Bau jigong tau!" protesnya meronta dalam pelukanku. Aku makin menguncinya.

"Ehem... Kangen-kangenannya boleh nanti. Sekarang, Mas ilangin dulu bau jigongnya. Adik bantu siapin sarapan." Ibuku menyela keisenganku. Aku melepaskan pelukanku dan mengikuti dengan takzim perintah ibuku. Tapi, sebelumnya aku sempatkan mencubit keras pipi adik perempuanku satu-satunya itu. Dia menjerit kesal.

***

"Ngapain lu dateng kagak bilang2? Suami lu mana?"  tanyaku saat aku hanya tinggal berdua dengan adikku di teras rumah. Adikku tidak menjawab. Dia malah manyun.

"Lah, malah cemberut. Berantem sama Dimas yak?" usikku lagi.

"Berisik lu! Gue ke sini, tanpa suami, tanpa anak, gara-gara lu," pungkas adikku dengan kemarahan tertahan.

"Dih, apaan? Kok gue sih. Dudud... Dudud... Kangen yak sama abang lu ini? Kasih surprise nih ceritanya?" Aku masih mencoba menggodanya.

"Gue dari Bali," ucap adikku singkat. Kata-katanya berhasil membuatku membeku. Sekian detik kami terdiam. Kusulut rokokku.

"Liburan?" tanyaku sembari menyingkirkan serpihan-serpihan kecurigaan di kepala.

"Gigi lu! Gue ketemu dia. Di rumahnya. Dia udah nikah ternyata. Udah punya anak. Gue jadi mikir, kenapa dia tega lakuin hal ini ke lu. Ninggalin lu dan nikah sama orang lain. Sementara lu di sini menghukum diri lu sendiri, kagak jelas kapan lu mau nikahnya. Gue jadi sebel beneran sama dia," ungkap adikku. Aku sangat terkejut. Tapi, kusembunyikan keterkejutanku dalam hembusan asap rokok yang membubung di udara.

"Bukan salah dia. Lagian lu ngapain sih sampai cari dia ke Bali. Dapet alamatnya di mana lu? Sewa detektif yak?" sahutku berusaha santai. Getar halus mendesir di dadaku. Kubayangkan dia bertatap muka dengan adikku setelah 7 tahun berpisah. Pasti dia kebingungan.

"Gue tanya-tanya ke alumni kampus gue lah. Kan banyak yang kerja di Bali. Lagian lu masih juga belain dia. Ngebuktiin banget lu masih kagak bisa move on."

"Bukan gitu, Dudud." Aku berusaha melembutkan suara. "Gue udah lupain semua. Udah masa lalu. Justru lu yang bikin gue inget-inget lagi." Bibirku pahit saat mengatakan ini.

"Gue ngelakuin ini karena gue peduli sama lu, kakak gue satu-satunya. Di umur lu yang segini, lu belum nikah. Iya, gue tau lu punya tunangan sekarang. Tapi, kagak lu nikah-nikahin. Gue sebagai cewek ngerti banget perasaan tunangan lu. Gue aja khawatir lu kagak nikah-nikah, apalagi tunangan lu. Calon ipar gue itu pasti juga harap-harap cemas."

"Lu kata nikah pake daun, Dud? Pake duit. Gue belum cukup duit," tandasku.

"Nikah juga pake cinta. Dan gue tau, dari sorot mata lu, lu masih cinta dia. Gue ga mau rumah tangga lu nanti ga bahagia. Kan kasihan calon ipar gue, yang tulus sayang sama lu. Lagian lu juga harusnya nyadar dong, mantan pacar lu itu yang juga mantan sahabat gue, udah nikah, udah beranak juga. Dia yang ninggalin lu. Dan saat gue ketemu dia, gue nyerocos ini itu soal keadaan lu sekarang, dia cuma diem kayak patung. Gue cuma mau dia minta maaf ke lu. Tapi, dia udah ga peduli lagi sama lu."

Aku hisap dalam-dalam rokokku. Kuhembuskan asapnya ke udara. Desiran hangat di dada terus kurasakan. Rasa hangat yang sangat familiar. Rasa hangat yang nyaman. Rasa hangat yang hanya kudapat saat bersama dia. Adikku tetap berceloteh mengenai pertemuannya di Bali dengan dia. Bercerita bahwa tak ada reaksi signifikan dari wajahnya saat adikku menuntut penjelasan, bahwa dia biasa-biasa saja. Hatiku agak berdecit saat mendengar itu. Tapi, kubiarkan saja. Kubiarkan saja adikku bercerita dan berasumsi. Kubiarkan hati ini berdecit-decit. Sakit. Aku kemudian menyundutkan rokokku ke asbak dan bangkit berdiri.

"Lu dari tadi dengerin gue ga sih?" protes adikku. Aku hanya diam dan beranjak pergi. Adikku tertegun. Mungkin di pikirannya aku ini kakak yg tidak tahu terima kasih. Mungkin baginya, aku adalah kakak yang payah. Mungkin adikku akan semakin menyalahkan dia. Kubiarkan saja dia dengan segala pikirannya itu.

Kubiarkan saja hari Minggu kali ini menjadi tidak biasa.

Kubiarkan saja.