Saturday, December 29, 2012

REINKARNASI

Gambar dari sini
Mungkin reinkarnasi itu benar terjadi. Bagi yang beruntung, mereka akan terlahir sebagai manusia. Bagi yang beruntung, mereka akan terlahir di lingkungan sukses dan kaya. Bagi yang beruntung, mereka terlahir tanpa cacat, cantik dan tampan. Bagi yang beruntung, mereka akan dipertemukan kembali dengan belahan jiwa. Untuk mereka yang bernasib kurang baik, terlahir sebagai makhluk hidup saja mungkin sudah bagus. Lalu, aku dan kamu, apakah beruntung atau bernasib kurang baik di dalam perputaran kelahiran ulang ini? Aku lebih suka menyebutnya 'beruntung' meski bagi orang yang mengetahui kisah kita akan menyebut ini sebagai keburukan nasib.

Mungkin kita dulu adalah sepasang kekasih. Kita saling mencintai satu sama lain teramat sangat. Kita telah saling berjanji jauh sebelum kita mengantri menapak roda kelahiran. Janji bahwa nanti kita akan saling mengenal kembali, saling mencintai dan selalu ada untuk masing-masing.

Sampai tiba saatnya kita terjun ke alam yang dulu sempat kita kenal. Alam kehidupan tempat kita memadu kasih, memanen cinta dan menuai sayang. Akankah sama? Akankah alam itu mengenal kita? Kita hanya tahu misteri yang tidak pernah pasti. Di undakan waktu itu kita setia, saling memandang penuh cinta dan bergandeng tangan mesra. Masih sempat kita ulang janji itu sebelum menenggak cairan penghapus jejak: mengenal, mencintai, selalu ada. Kemudian terjunlah kita ke lembah pekat, terombang-ambing oleh getaran kala. Jungkir balik, berhimpitan, bergesekan dan perihnya luar biasa. Bukan lagi tanganku yang kau genggam, tidak lagi tanganmu yang kutaut. Hanya takdir. Ya, takdir itu kini dalam kita.

Kita tidak pernah mengingkari janji selama masa reinkarnasi. Jiwa-jiwa kita telah mengakar kuat bersama janji itu dan mustahil tercerabut. Meski lembaran hidup yang kita perankan berbeda, kita tahu di dalam jiwa-jiwa kita, kita tetaplah yang dulu: sepasang kekasih.

Dalam giliran reinkarnasi ini, kita runut janji awal: saling mengenal. Perlu puluhan tahun untuk kita saling menyapa dan mengucap nama. Itulah kemampuan dan kuasa absolut takdir dalam diri kita, tidak usah heran apalagi sesal. Dalam proses mengenal kembali ini, kita bercakap melalui puisi. Di sanalah kutemukan diriku. Di setiap liris kata yang kau tuliskan. Kau pun mendapati diri di masing-masing rima yang kususun. Takdir telah memperkenalkan kita di saat yang tidak terduga: aku dahaga dan kau terluka. Puisi yang kita karya dan dayakan adalah pelipur. Tak ada habisnya kita bentangkan di ribuan jalan hidup.

Puisi pun menyentak kita untuk saling jatuh cinta. Selayaknya bocah polos dalam ketelanjangan, cinta dan rindu kita terlalu kentara berdesakan di kerumunan bait. Sarat, lekat dan pekat. Tak bisa kutampung lebih lama, tak sanggup kau sembunyikan lebih dalam. Tak cukup tempat dan ruang, puisi-puisi kita tumpah menggenangi langkah nafas. Meruah, memanja hati dan jiwa yang telah lama berkelana. Saling mencinta, lunas sudah.

Melalui jendela-jendela kecil di puisi, kita saling mendengar tawa. Tawa bahagia yang tak tertawar. Tawa yang berlumur cinta juga rindu untuk merengkuh dimensi lain kehadiran masing-masing. Dimensi yang lebih padat dan nyata dengan jumlah yang lebih banyak, mungkin tiga, empat atau bahkan enambelas agar kita mampu saling menggapai dari pucuk ke pokok. Tak jarang kita saling mencicipi getir rasa hingga meriakkan airmata. Kau mendengar isakku, kuhayati kisahmu. Kutalangi dukamu dan kau tadahi laraku. Hingga kita tak lagi dua, melainkan satu cerminan. Janji terakhir pun tertebus: selalu ada.

Mari berhenti sejenak. Kumparan reinkarnasi ini, berkompromi dengan takdir, sesungguhnya tak pernah membiarkan kita bertemu. Mereka terlalu cemburu. Tinggallah kita: manusia-manusia yang berambisi menepati janji, yang tidak akan bisa lagi mengait jemari, terdampar di lelah perjalanan puisi.

Sudikah kau untuk menoleh kembali ke masa kita mengikat janji? Mungkin nanti, jika kita memperoleh giliran reinkarnasi  lagi, kita akan mengucap janji yang lebih spesifik, bila perlu kita catat detailnya di lembar-lembar ingatan. Biar tidak kecewa dan durja.

Akan tetapi, kita masih beruntung karena terlahir sebagai manusia yang dalam kungkungan takdir masih boleh melunasi janji-janji. Meski kita tidak pernah bersua seperti dahulu kala ataupun di alam sana, kita tetap sepasang kekasih yang mencinta. Jadi, mari kita nikmati reinkarnasi ini (terserah takdir mau berbuat apa).


Denpasar, 29 Desember 2012
01.48 AM
Inspired by my very best friend's Whatsapp message which said:
"Sepertinya dia orang yang pernah ada di kehidupanmu sebelumnya."

Tuesday, December 25, 2012

MEMAAFKAN

Gambar dari sini

Kata 'memaafkan' berasal dari kata dasar 'maaf' yang jika ditilik dari kbbi.web.id merupakan kata benda berarti 'pembebasan seseorang dr hukuman (tuntutan, denda, dsb) krn suatu kesalahan; ampun'; kemudian mendapat imbuhan me-kan sehingga 'memaafkan' menjadi sebuah kata kaerja yang memiliki arti 'memberi ampun atas kesalahan dsb; tidak menganggap salah dsb lagi:'

Manusia menurutku adalah makhluk yang paling pelit memberi pengampunan atas kesalahan seseorang. Berbagai pertimbangan diambil untuk memutuskan pemberian ampunan atau tidak. Salah satu pertimbangan itu adalah kepastian bahwa kesalahan tersebut tidak akan dilakukan lagi oleh orang lain atau bahkan oleh orang yang sama. Sayangnya, kepastian ini lebih banyak yang tidak pasti sehingga membuat manusia enggan memberi maaf meskipun mereka sebenarnya berkecukupan 'maaf' di hati.

Memaafkan tidak perlu menunggu hari raya. Memaafkan tidak mendapat jaminan bahwa kita akan tidak pernah sakit lagi atau sembuh sama sekali. Memaafkan tidak menjadikan kita orang besar, tetapi lebih kepada memanusiakan diri kita. Memaafkan hanya butuh kesiapan hati yang lapang dan berkapasitas tinggi untuk menampung luka lainnya bahkan luka yang sama.

Seperti aku memaafkan Tuhan yang mencipta dan berkarya. Seperti aku memaafkan Bapakku akan kesalahan masa lalu yang dilakukan sebelum aku terlahir. Seperti aku yang memaafkan Ibu mantan pacarku yang memisahkan kami atas pertimbangan agama. Seperti aku yang memaafkan kamu.




Dan tetap mencintaimu.

#Hanya Sebuah Monolog II



Sempat..
Kita sempat mengadu keberuntungan untuk bersama dalam putaran waktu yang singkat..
Kita sempat memperjuangkan hati yang sama yang sempat kita anggap tulus..
Kita sempat saling mengucap janji di hati masing-masing.
Aku tidak tahu janjimu begitu juga janjiku yang tertutup rapat oleh senyumku.
Atau kita tak saling berjanji dengan bukti semuanya ini terhenti.
Aku sungguh ingin memelukmu malam ini, bayangmu begitu jelas, padat saat terlihat. Ini bukan sekedar bayang. Aku ingin memeklukmu, merapatkan setiap inci tubuh kita.
Seketas aku teringat nada nafasmu yang memburu saat ciuman pertama kita, kita sesekali tertawa dalam singkatnya merindu.
Sesaat putaran rotasi terhenti ketika kau menghentikan laju kebersamaan.
Semua tentangmu kini kupetimatikan, meski logika terus merayu menengok kembali
Aku terus menolak gravitasi perasaan yang terus menarik.
Terus melawan hypno fikiran untuk kembali.
Aku tak ubah magnet yang lemah melawan besi tua bernama kenangan.
Kau tahu?
Betapa sulitnya berfikir positif bahwa kamu baik-baik saja di sana tanpaku.
Setahuku kau begitu lemah, begitu rentan akan perubahan, bahkan perubahan pergeseran waktu kita bertemu.
Pertemuan kita begitu sederhana, kisah kita pun begitu sederhana dan perpisahan kita juga kita bentuk begitu sederhana.
Aku tidak berjanji kita bersama lagi, aromamu berubah dan kehadiranmu di depanku terlihat aneh walaupun hanya sekedar mengembalikan barang-barang terisi penuh kenangan.
Sampai saat ini kamu masih berada di dalam kelopak mataku, selalu terlihat saat aku berkedip. Entah seberapa sering aku melihatmu dalam sehari.
Aku masih terpasung nostalgia, bukannya aku betah duduk memangku kosong, aku hanya terpasung dan kehilangan kunci melupakanmu.
Rasanya buta menyenangkan, indah jika dibandingkan normal karna melihatmu kini sesal.
Aku tak ingin menginjak tempat saat-saat rutinitas pertemuan kita berada, di sana kenangan dan rekaman pembicaraan kita masih tercecer.
Aku berhasil mengenangmu, kini aku belajar melepaskan puzzle-puzzle kenangan.
Aku lupa satu hal.
Kita sedang belajar saling melupakan
Menghapus semua dengan memasukan anggota baru dalam hidup kita
Membuat replika kasih sayang untuk pasangan kita.
Semua tentangmu setia meremora.
Kamu adalah aroma coklat yang tak pernah bosan kuhirup..


By: Andra Daniel
24 December 2012
Sent via Facebook chat
Picture: AD's collections

#Hanya Sebuah Monolog I



Tak tahu apa yang kurasa
Seperti sebuah surat perasaan yang kau kirim dan tak mampu kubaca seluruh aksaranya, aku hanya mampu membaca di setiap jeda bait yang terisi nama dan senyummu. Aku masih setia memeluk tanda tanya di fikirku, tentangmu tak pernah usai kuputar dengan otak dan hati, tak cukup sebentar kau beserta awak kenangan di dalamnya, bertahan seolah kekal menungguku lapuk seperti dedaun kering yang hancur dengan sekali remasanmu. Membuatku tak cukup waras namun dengan segenap kebodohan aku menikmatinya, menikmati kematian yang sangat lamban bak hujan jutaan jarum di tubuhku yang berusaha mencari titik di mana aku tak mampu bergerak walaupun hanya menolehkan mataku lalu mati.
Kau dimana?
Jelaskan ini padaku berikan aku sedikit ampun dan berbicara kalimat-kalimat akhir, kan ku beri titik dan tak bertanya lagi.
Kau dimana?
Berikan aku jawaban atas soal yang kau sempurnakan hingga aku tak mampu menjawab meski dengan do’a setiap malamku.
Aku berharap Tuhan mengampuniku dengan memberikan jeda berfikir atau menghapus ingatan tanpa sisa. Aku lelah mengisak tangisimu tiap malam, aku lelah mendoamu di setiap denyut yang hanyut setiap detik memetik. Tak mampu membaca seberapa hasta jarak kita, jika jauh aku melihatmu sangat dekat jika dekat mengapa kau tak mampu ku dekap.
Kau adalah tanda tanya agung menyerupa takdir getir di ingatanku.

By: Andra Daniel
24 December 2012
Sent via Facebook chat
Picture: AD's collections

Wednesday, December 19, 2012

Ceritaku Hari Ini

Jadi begini ceritanya, saudara-saudaraku terkasih. Pagi ini saya sarapan segelas kopi instan super encer dan sekantung potato chips dengan tagline hidup tidak pernah datar. Kenapa kopi instan super encer? Jantung saya tidak pernah kuat dengan kopi, tapi saya suka kopi sehingga terpaksa harus membuatnya seencer mungkin. Sambil menikmati sarapan yang aneh itu, saya membuka facebook, blog dan membaca artikel-artikel di koran atau situs online. Ada artikel yang menilai inkonsistensi Gubernur Jokowi dan Wagub Ahok dalam menepati janji-janjinya. Astaga, orang-orang ini seperti tidak bisa bersabar sedikitpun. Belum ada enam bulan mereka menjabat sudah dituntut mewujudkan semuanya. Lamban sedikit dikatakan tidak konsisten. Geleng-geleng kepala. Ada artikel tentang Pak Presiden SBY yang menerima gelar kehormatan di Malaysia. Saya antara bangga dan tidak. Lebih condong ke 'tidak' sebenarnya karena kecewa dengan pernyataan Beliau tentang pejabat yang melakukan korupsi dan sekarang mendapat gelar kehormatan. Yang benar saja? Saya juga membaca artikel tentang lima tokoh dunia paling berpengaruh di tahun 2012 versi majalah Time. Tebakan saya tepat, Mr. President Barrack Obama masuk hitungan. Lalu, ada Whatsapp masuk di ponsel saya. Sambil klak-klik artikel-artikel, saya pun berbalas pesan dengan sahabat melalui Whatsapp. Bosan dengan artikel, saya menonton video-video X-Factor UK dan The Voice UK. Keduanya merupakan ajang pencarian bakat menyanyi. Jagoan saya di X-Factor adalah sang juara James Arthur sedangkan di The Voice UK saya jatuh cinta pada suara si finalis Vince Kidd. Merinding sendiri menonton video dan mendengar suara mereka di YouTube tanpa peduli kuota modem habis. Keasyikan online, saya lupa makan siang dan oh, saya memang sengaja tidak mandi. Maghrib telah usai berkumandang ketika saya memutuskan untuk mandi. Seusai mandi, perut yang melilit sakit mengomandoi saya untuk menjadi anak ayam: cari makan. Saya cek dompet dan melihat Rp 26.000,- di sana. Apa?? Nada tinggi, kamera close-up ke wajah, mimik dibuat panik dan iringan musik dramatis. Makan malam akan habis Rp 10.000,- dan saya masih butuh uang yang lebih lagi untuk rencana esok hari. Esok saya perlu uang untuk naik taksi ke rumah calon bapak mertua di Seminyak untuk menyambut kedatangan calon suami. Untuk itu, segera saya berjalan-jalan malam menuju ATM dengan rencana setelah dari ATM akan ke warung nasi uduk di seberang ATM. Sekiranya dompet dan ATM itu berkonspirasi untuk menjebak saya. ATM bank yang saya gunakan sedang dalam renovasi. Mesinnya tidak ada di sana, berganti empat sak semen dan berbagai alat pertukangan. ATM terdekat sekitar 500 meter dari ATM bank ini. Berjalan kaki di negara yang tidak ramah pada pejalan kaki ini cukup beresiko, tengah malam dengan pandangan rabun pula. Plus, gerimis malu-malu turun. Tunggu sebentar, negara yang tidak ramah pada pejalan kaki? Ya, sama sekali tidak. Trotoar jumlahnya sangat terbatas. Trotoar yang terbatas itu pun dilahap pemilik-pemilik toko, tukang lalapan, ibu-ibu pembeli emas sebagai bagian lapak mereka yang tidak bisa diganggu gugat. Trotoar juga disulap menjadi lahan parkir. Oportunis! Meranalah pejalan kaki di negeri ini. Saya putuskan kembali ke kos. Tidak jadi makan nasi uduk. Makan mi instan saja meski tangan sudah mulai tremor. Sesampainya di kos, saya mendapat Whatsapp dari calon suami. Dia menanyakan apa saya baik-baik saja. Dia juga mengatakan kalau rekening bersama kami baru saja diisi uang untuk saya. Mungkin ini adalah bukti bahwa telepati bisa benar-benar dilakukan karena selama perjalanan pulang ke kos, saya tidak henti-henti berkata dalam hati, "Alex, uang saya habis!" Hore! Berarti besok saya bisa mengambil uang di ATM rekening bersama kami, bukan di ATM saya. Semoga ATM rekening bersama ini tidak sedang dalam rekonstruksi juga. Meski begitu, saya tetap makan mi instan malam ini. Kali ini dengan perasaan lega dan syukur. Tidak lagi terheran-heran pada ketidaksabaran penilai kinerja Jokowi-Ahok. Tidak sungguh-sungguh kecewa pada Pak Presiden SBY (sembari mengaitkan jari saya berharap trotoar benar-benar ditegaskan untuk pejalan kaki) dan mengerling pada foto Mr. President Barrack Husein Obama. Vince Kidd pun menghibur dengan lagu Our World yang dibawakan secara akustik. Ah, dunia ini romantis sekali. Apa ceritamu hari ini?

Pengantin Perawan

Gambar diambil dari sini

Di kamar pengantin yang telah disiapkan dengan manis dan romantis, aku dan suamiku duduk di pinggir tempat tidur. Kami saling berpandangan. Sholat sunnah dua rakaat sudah kami laksanakan. Kami pun sudah membaca surat Al-fatihah, Al-ikhlas dan sholawat atas nabi sebanyak tiga kali. Inilah saatnya.

Penuh kelembutan suamiku mengusap ubun-ubunku dengan tangan kanannya. Berbisik dia mengucap doa bahwa dia berserah pada Allah akan semua kebaikan dan keburukanku. Jantungku berdetak kencang. Degupnya menggetarkan seluruh badanku. Suamiku menuntun dan membimbing. Aku tetap saja berdebar. 

Sakit yang luar biasa kurasakan membuatku merasa terlahir kembali. Nikmat yang kureguk mampu membuyarkan sekelebat bayang seorang gadis yang selama ini menghantui. Gadis yang terbaring lemah di tempat pembuangan sampah. Gadis yang kehilangan seluruh kekuatan dan kehormatannya setelah digumuli tujuh lelaki. Bergilir di bawah langit hitam yang hujan.

Suamiku tidak tahu. Tidak pernah.



~A note while listening to Madonna's Like a Virgin~

TELANJANG


Kucuran air dari kamar mandi terdengar keras. Pasti air dingin, favoritnya. Basuhlah semua, Sayangku. Bersihkan semua jejak yang kutinggalkan. Jejak peluh, jejak desah, jejak lenguh, jejak orgasme. Biar bisa lagi kuukir ulang jejak-jejak itu di tubuhmu dengan ketelanjanganku.

Pintu kamar mandi terbuka. Dia keluar, menyerbu indera penciumanku dengan aroma sabun dan shampoo yang menggoda. Pasti dia basah. Ah, ingin rasanya kurengkuh dia kembali ke tempat tidur, mengulangi gejolak kemarin malam. Mungkin lebih panas dan nakal.

"Aku mau kau pengangguran," gumamku. Dia tidak menyahut. Sibuk mengancingkan kemeja, memakai celana, mengencangkan ikat pinggang, menalikan dasi, memakai sepatu, mengecek segala gadget, memasukkan semua dokumen ke dalam tas kerja, mengambil jas, menyentak kunci mobil dan berjalan ke arah pintu.

"Aku tahu kamu tidak memakan uangku. Tapi, istri dan anakku memerlukannya. Dah, Sayang." ucapnya sebelum benar-benar menutup pintu.

Di atas tempat tidur yang poranda, dengan mata terpejam, aku telanjang.




*Gambar diambil dari sini


Tuesday, December 18, 2012

Khawatir

Dan aku khawatir
Mengapa orang-orang mudah sekali pergi
Seolah tiada beban di pundak mereka
Seakan tak pernah gundah menyapa

Dan aku semakin khawatir
Saat orang-orang semakin giat lupa
Seperti tidak pernah ada yang berharga
tidak pernah mengalami lara

Aku khawatir
Bilakah aku tinggal?
Kapankah aku ingat?
Alpa, sungguh alpa.

Thursday, December 13, 2012

PUPUS




Pupus

Pu           pus

Pus         pu

Pu           pu

Pus         pus

Pu

Pus

Pus

Pu

Pus

Pus

Pu

Pu

Pus pu pus

Pu pus pu

Pus pus pus

Pu pu pu

Pupus

Duapuluh Duabelas Duapuluh Duabelas

Katanya, kiamat mundur.
Tidak jadi duabelas duabelas duabelas.
Mungkin Si Kiamat ketiduran.
Wekernya yang berisik tidak bekerja.
Takdir tidak sempat menoleh kalender di telepon canggihnya.
Dia disibukkan oleh urusan sidang koruptor.
Mungkin Tuhan kehilangan kacamata.
Rabun saat melihat tanggalan yang menyebabkan Dia alpa.
Tapi, para cenayang dan peramal itu bilang:
Masih ada angka unik lain yang tersisa di bulan ini.
Angka yang pas untuk memulai adegan film Hollywood kemarin.
Duapuluh duabelas duapuluh duabelas.
Proposal sudah diajukan ulang oleh Si Kiamat kepada Sang Takdir.
Ditembuskan ke Tuhan yang kini sudah pakai lensa.
Manusia pun ribut mendengar kabar itu.
Mereka mulai mengepak barang-barang.
Baju, makanan, minuman, obat,
dan gadget--untuk kepentingan update status, foto atau live blogging.
Berbondong-bondong mereka ke bukit, ke gunung
biar tidak kena tsunami.
Beramai-ramai ke ruang bawah tanah, ke bunker
biar tidak tersambar meteor.

Menarik nafas.
Tuhan belum sempat baca proposalnya.
Dia sedang asyik minum anggur sambil wall-walking.
Melihat kreasinya berdoa dan bersyukur di dinding
Berkicau-kicau memuji namaNya.
Menurutnya itu lebih keren daripada proposal.
Sang Takdir bolak-balik mengecek jam di teleponnya yang canggih.
Lalu dia pergi tanpa pamit.
Masih banyak urusan, batinnya agak kesal.
Si Kiamat bosan menunggu.
Dia lebih memilih melanjutkan tidur.
Wekernya sudah dibuang.
Para cenayang dan peramal berseru, "Tunggu kabar selanjutnya."

Wednesday, December 12, 2012

"Maaf" yang Kutunggu

"Nanti pasti dijelaskan kalau dia sudah kembali sembuh. Terima kasih."
Sent: 11-Dec-2012 07:20:11 pm

Apa lagi cerita yang tergenggam di tanganmu?
Apa lagi adegan yang tertulis di lakonmu?
Apa lagi peran yang tercipta di naskahmu?

Mau berdusta atau berbuat nyata
Sekali lagi atau berkali-kali
Aku akan tetap menunggu
Sepotong 'maaf' darimu





*Ditemani Regina Spektor menyanyikan Hero: "I'm the hero of the story, don't need to be saved"

Tuesday, December 11, 2012

TEH NATAL


Aku tidak ahli dalam mencari hadiah. Apalagi hadiah untuk kaum lelaki di hari Natal. Temanku mengusulkan dengan antusias: kaos bola favoritnya! Namun, aku segera menolak usulannya yang brilian tersebut karena lelaki yang satu ini tidak suka sepak bola. Dalam kebingungan itu, aku terdampar di sini, di depan rak-rak yang memajang aneka macam teh. Teh bubuk, teh melati, teh celup, teh hijau, teh hitam, teh mint, teh impor, teh lokal, teh diet, teh stik, teh bermacam-macam. Kemasannya juga banyak yang menarik. Ada dalam kantong-kantong sutra seperti yang pertama kali diperkenalkan oleh Thomas Sullivan, ada dalam kantong-kantong kertas, ada dalam batok-batok kelapa yang sudah dipercantik, dan dalam kotak biasa dengan permainan warna yang menarik. Aku putuskan untuk menghadiahinya minuman paling populer kedua di dunia setelah air putih ini. Dia sangat doyan minum teh, tapi belum banyak jenis teh yang dia coba.

"Bisa dibantu, Kakak?" tanya seorang pramuniaga dengan senyum sadar kamera. Aku melihatnya dengan kesal dan tidak berkomentar apapun. Kesal karena sapaan 'kakak' yang digunakannya. Aku kesal pada semua pramuniaga yang memanggil pelanggan dengan 'kakak'. Strategi 'sok kenal sok dekat' yang menurutku sangat menjijikkan.

"Mau beli teh ya, Kakak? Mau teh hijau apa hitam, Kak? Saya sarankan teh hijau aja. Kandungan polifenolnya lebih banyak. Jadi, lebih sehat. Ada juga ini teh hijau mint. Seger loh, Kak. Nah, yang ini teh hijau mint impor dari Inggris, Kak. Kualitasnya jauh lebih baik dari yang lokal. Tapi, jangan pilih yang dalam kemasan kantong kertas. Belum tentu bebas klorin. Belum tentu dapat proses penetralan, Kak. Lebih baik yang ini nih, Kak. Teh bubuk. Jangan khawatir, Kakak. Teh ini juga ada teh hijau mint impor dari Inggris. Nanti diseduhnya bisa pakai kantong teh kain yang lebih sehat, Kakak. Jadi, mau teh yang mana, Kakak?" cerocos pramuniaga tadi tanpa peduli ekspresi wajahku. 

Aku mencelos meninggalkan si pramuniaga sebelum dia berceloteh lagi. Dia sangat mengganggu konsentrasiku untuk memilih dan mengambil keputusan. Aku berbelok dua blok dari konter teh. Pembalut-pembalut wanita menyambutku di konter pelarianku ini. Aku mendengus. Aku tidak butuh pembalut karena sudah ada stok untuk bulan ini. Masa aku hadiahkan pembalut untuk pria? Yang benar saja!

Aku putari konter itu untuk kembali ke konter teh. Kali ini sambil mengintip-intip. Takutnya si pramuniaga ceriwis tadi masih menungguku di sana. Aman. Hanya ada seorang ibu yang mengambil beberapa teh dalam kemasan kotak. Teh pelangsing. Kembali aku berdiri tegak di depan rak teh. Menimbang-timbang teh yang akan kubeli. Teh Inggris? Tidak, terima kasih. Indonesia saja karena Indonesia adalah penghasil teh kelima terbesar di dunia. Itu cukup buatku berbangga hati. Lagipula dia sudah sering minum teh Inggris. Segera aku ambil tiga kotak teh bubuk melati buatan Indonesia dan berlari-lari menuju kasir karena kulihat si pramuniaga tadi tersenyum cemerlang dan mulai bergerak ke arahku.

Sudah kupaketkan teh melati itu, lengkap dengan ucapan "Selamat Natal, Pisangku! Jangan lupa bersenang-senang dan hangatkan diri dengan teh melati ini!" di belakang foto narsisku. Semoga bisa tiba di sana sebelum Natal. Semoga dia senang dengan hadiahku yang tidak seberapa itu.

Telepon selulerku ribut menyanyikan nada deringnya, menampilkan foto dan nama lelaki yang kukirimi teh sebagai hadiah Natal. Sumringah aku jawab panggilannya.

"Hai, Pisang!" seruku.

"Monyetku! Teh yang kamu kirim sudah aku terima. Terima kasih. Enak sekali dan benar-benar ada bunga melatinya. Aku temukan banyak bunga melati utuh! Hadiah Natal paling keren yang pernah aku terima," ujarnya senang.

"Hahaha, ya aku tahu. Aku memang keren. Bagaimana dengan perayaan Natal di sana?"

"Tidak menyenangkan sampai aku terima paketmu. Tidak menyangka kamu akan mengirim teh all the way from Indonesia to my place here: Dudley, West Midlands, United Kingdom!"


My Banana, Adam Pike :)
*Untuk sahabatku Adam Pike, si Inggris aneh yang sama sekali tidak mengerti sepak bola dan lebih suka minum teh daripada bir*


Monday, December 10, 2012

HARI KETUJUH

Di dalam taksi yang meluncur perlahan membelah malam menuju Jl. Raya Seminyak ini, aku gelisah. Tanganku basah oleh keringat meskipun AC di dalam taksi ini menyala. Aku mencoba mengalihkan pikiran ke ruas jalan yang macet. Lama-lama Bali akan seperti Jakarta. Ini baru sampai di Jl. Imam Bonjol, namun kendaraan sudah memadati ruas jalan. Motor-motor meliuk sesukanya, membalap kiri-kanan untuk sampai di tempat tujuan lebih cepat. Terkadang agak memaksa dan membahayakan. Mobil-mobil juga tidak mau mengalah, memotong jalan seenaknya tanpa memikirkan badan mobilnya yang melintang sama dengan empat motor dijajar menghalangi kendaraan lain. Bule dan orang lokal sama saja, mengklakson bahkan meneriaki kendaraan-kendaraan yang menghambat mereka tanpa peduli siapa di pihak benar dan salah. Kemacetan itu, klakson-klakson itu, selipan motor dan lintangan mobil di jalan itu tidak mampu menghalangi kegelisahan yang telah menemukanku. Kini rasa gelisah ini memelukku erat. Aku sampai menggigit bibir bawahku karenanya. Mengapa aku mesti gelisah begini? Sudah sering kulakukan perjalanan dari Denpasar ke Kuta atau Seminyak untuk menemui kawan-kawan mancanegara yang datang berlibur. Menemani mereka surfing di Double Six atau hanya sekedar berjemur di sana menikmati Bintang. Menemani mereka menggila di Sky Garden atau hanya duduk menikmati musik di Apache dan kadang setengah mabuk menangis di Ground Zero untuk korban-korban Bom Bali yang tidak kami kenal. Perjalanan ini juga sudah sering kulakukan untuk dia.

Ya, dia. Seorang lelaki yang sudah kukenal semasa kanak. Seorang lelaki yang kemudian menjelajah dunia dari satu beasiswa ke beasiswa lainnya. Hausnya akan ilmu tidak pernah terpuaskan. Masa liburan selalu dia datang ke sini, ke Bali. Datang, bukan pulang. Tidak ada tempat yang bisa menjadi rumah untuknya. Bukan salah tempat-tempat itu, tapi memang dia yang enggan terikat. Ah, kenangan akan dia yang selalu kutemui di restoran Zanzibar atau Blue Ocean atau Lanai atau Warung Made atau Bubba Gump atau dimanapun dia memintaku menemuinya menambah gelisahku. Sudah rutin enam hari ini aku menemuinya. Tentu saja atas permintaannya. Ini hari ketujuh. Seharusnya jadi hari terakhir, seperti yang dijanjikannya. Enam hari kemarin kami selalu melakukan hal yang sama. Sama persis tiap malamnya, tanpa ada yang terlewat. Enam hari yang lalu aku tidak gelisah saat melakukan ini semua. Ah, kenapa?

"Ryoshi, Mbak." Suara sopir taksi yang kutumpangi memecah lamunanku. Aku terdiam sejenak sebelum membayar argo dan turun dari taksi untuk mengumpulkan nyawa yang berserakan di khayal-khayalku. Di depan restauran Jepang itu aku berdiri. Jantungku berdegup keras saat kulangkahkan kaki memasuki lantai satu restoran tersebut. Aku harus segera menuju lantai dua, tempat aku berjanji bertemu dengannya. Lantai dua Ryoshi selalu ada live band music. Band-band indie local maupun mancanegara, kebanyakan beraliran jazz dan blues, kadang ada juga rock band. Dulu aku bertemu pertama kali dengan temanku bernama Duncan, seorang pemain steel drum beraliran jazz di sini. Duncan kukuh bilang steel drum sementara aku bilang steel frying pan karena alatnya itu memang mirip penggorengan martabak. Oke, lupakan si Prancis pelit Duncan. Fokus mencari sosok sahabatku. Dia duduk di salah satu tempat duduk lesehan depan panggung kecil. Dia melambai padaku saat dia melihatku. Berusaha keras aku tersenyum saat menghampirinya.

"Ayo, duduk. Pesan langsung ya? Edamame? Kesukaanmu, kan? Dua porsi sekaligus, oke?" cerocosnya begitu aku duduk bersimpuh. Live band sekarang adalah band rock. Penyanyinya seorang wanita Indonesia yang cantik dan eksotis. Suaranya dahsyat. Namanya Marina, kutahu.

"Minum cha? Spider Maki?" lanjutnya sementara aku sibuk menenangkan diri dengan mendengar suara serak seksi Marina. Aku hanya tersenyum. Dia lanjut memesan.

"Kamu diam sekali hari ini. Kenapa?" selidiknya.

"Hanya capek. Apa kabar hari ini?" tanyaku menyembunyikan kegelisahan.

"Baik, seperti kemarin. I'm really excited."

"Iya, tentu saja kamu bersemangat. Bersemangat untuk besok," kerlingku padanya. Ah, cepat sekali aku menguasai diri.

"Hahahahaha. Entahlah. Aku harus berterima kasih padamu jika besok semua berjalan lancar," gelaknya. Obrolan kami berlanjut. Obrolan ringan yang disisipi tawa. Dia pandai membuat lelucon. Sesekali Marina mengajak pengunjung menyanyi bersama. Kami ikut menyanyi kalau kami tahu lagunya.

"Ride, Sally ride. Wipe your weeping eyes. Ride, Sally ride..." gemuruh pengunjung saat lagu Al Green dinyanyikan. Sahabatku itu terbahak melihatku yang dengan semangat menyerukan lirik ride Sally ride.

"Kenapa? Aku salah lirik?" protesku. Dia hanya menggeleng dan tetap terkikik-kikik.

"Bukan, bukan itu. Hahaha. Aku heran kenapa kamu tahu lagu itu. Aku saja tidak tahu. Lagu tahun berapa itu?" sindirnya.

"Al Green! Kamu tidak tahu Al Green? Penyanyi soul dari Amerika! Dia itu keren! Ride, Sally Ride jadi bonus track di albumnya Gets Next to You tahun 1971. Kamu tidak tahu?" ucapku kaget.

"Hey, aku mendengarkan musik 90-an karena musik kita ada di zaman itu. Tahun 1971 bahkan kamu masih belum dipikirkan untuk dilahirkan. Hahaha," kilahnya.

"Ya, 90-an macam NSync dan Westlife. Itu favoritmu, kan?" godaku.

"Nope! Well, 90's was the year of boybands of course but no. They're not my favorites."

"Lalu siapa? Red Hot Chili Peppers, Radiohead, U2, REM, Foo Fighters, Smashing Pumpkins?"

"Exactly! Exactly! Don't forget Oasis! The best Britpop ever, bahkan Coldplay bukan apa-apa dibanding Oasis!" serunya senang.

"Hah!" komentarku pendek. Aku sangat tidak menyukai band Inggris itu. Bukan karena musiknya melainkan karena Gallagher klan.

Lelaki itu menunjukkan wajah senang. Dia tahu dia menang telak. Dia tahu aku tak mau membahas lebih lama tentang Oasis.

"Ok then. We have finished our dinner. Now it's time!" ucapnya sambil menyingkirkan piring dan gelas dari hadapan kami ke pinggir meja. Aku menarik nafas dalam. Kegelisahan ini entah kenapa belum pergi juga.

"Wajahmu jangan tegang begitu. Kita sudah melatih ini berkali-kali di tempat yang berbeda-beda," katanya sebelum beranjak ke panggung tempat tadi Marina menyanyi.

Dia naik ke atas panggung, mengambil mikrofon dan berdiri tegak di sana. Matanya menatap lembut lurus tepat ke mataku. Serentak pengunjung riuh bertepuk tangan dan ada yang iseng bersuit-suit.

"Sorry, guys. I have to ruin your night here. I have to take this stage from you, Marina. But, hey, thanks to you guys who let me to have this moment of my life. When I get off this stage, you may murder me. Hahaha," ucapnya di atas panggung dengan gaya sok. Pengunjung bergemuruh bertepuk tangan. Marina mengangkat gelas minumnya sambil tersenyum manis. Cepatlah, bodoh! umpatku.

"Today is gonna be the day that they're gonna throw it back to you. But now you should've somehow realised what you gotta do. I don't believe that anybody feels the way I do about you now," Dia mulai menyanyi dengan suara yang dibagus-baguskan. Aku kaget dia memilih menyanyikan lagu Oasis. Dia turun dari panggung, bernyanyi menuju arahku, menghampiri aku yang duduk kaku seperti sebatang pohon.

"There are many things that I would like to say to you, but I don't know how..." Dia kini tepat berdiri di hadapanku. Berhenti di lirik itu lalu berseru, "Guys, you see this beautiful woman in front of me. She's my best friend since I was like 8 or 9, I can't tell. She's always there for me when I want her to be there. She always has her time for me. She always gives me shoulders to lean on. She never refuses when I ask for her help. She always says yes. Now, I hope she can say 'Yes' too when I ask her for one more thing," dia merogoh saku celananya, mengeluarkan kotak berbahan suede berwarna kuning terang, membuka kotak itu sembari berlutut.

"Will you marry me?" dia menatapku penuh harap. Aku tidak mengerti. Selama enam hari ini aku memang menemui dia untuk membantunya berlatih mengucapkan kata-kata lamaran pada kekasih hatinya dengan aku berpura-pura menjadi wanita beruntung itu. Sengaja dia pilih suasana makan malam romantis agar lebih nyata. Selama enam hari terakhir yang dia lakukan payah. Tidak pernah mulus. Aku sampai harus terus-menerus mengarahkan dia. Ini harusnya begini, itu ke sana, kamu bilang begini, kalau dia begitu kamu katakan seperti ini, blahblahblah. Dia tidak pernah menguasai semua ilmu yang kuajarkan.

Hari ketujuh ini harusnya jadi hari terakhir dia berlatih karena besok dia harus sudah melamar sang kekasih hati sebelum gadis itu terbang ke Singapura untuk bekerja. Tetapi, aku tidak mengerti. Semua yang dilakukannya di luar skenario yang kubuat. Seharusnya dia tidak menyanyi, seharusnya kata-kata yang diucapkannya bukan itu, seharusnya kotak cincin itu berwarna merah muda, seharusnya cincin di dalam kotak itu polos tanpa berlian, seharusnya yang dia lamar bukan aku. Aku tersentak. Aku? Aku? Hah?

"Say yes! Yes! Yes! Yes!" gemuruh pengunjung Ryoshi ditingkahi tepuk tangan. Koor dadakan itu membuat aku tersadar apa yang sedang terjadi. Dia masih berlutut dengan cincin berlian putih berkilau. Dia melamarku. Ya, aku. Tiba-tiba suara tak ada. Semua menunggu aku berkata.

"Wonderwall?" entah kenapa dari ribuan kata yang bisa kuucap, tiba-tiba hanya Wonderwall yang meluncur mulus dari mulutku. Serentak penonton yang hening meledak dalam tawa. Wajah sahabatku memerah, namun dia tertawa juga.

"Iya, Wonderwall. Oasis. Dirilis 30 Oktober 1995 dari album "(What's the Story) Morning Glory?". Bercerita tentang seseorang yang datang dan menyelamatkan hidupmu," jelasnya seolah aku tidak tahu.

"Aku tidak suka Oasis," desisku. Bisa kurasakan wajahku memucat.
 
"Aku tahu itu bukan lagu yang ideal untuk melamar. Terlebih kamu benci Gallagher bersaudara. Tapi, melihat kamu tadi di ujung tangga sana, dengan wajah gelisah, aku tahu apa yang harus aku lakukan. Entah apa yang menutupi mataku selama ini sehingga tidak melihat malaikat yang selalu ada untukku. Aku malah sibuk mengejar gadis lain yang membuatku bersusah payah transit di Singapura demi menyatakan cinta. Meminta bantuanmu untuk menjelajah dia ada di mana. Lalu mengejar dia ke Jakarta, mengemis cintanya. Tetap dengan bantuanmu mencari rumahnya. Lalu, dan sekali lagi menemui kamu untuk membantuku. Enam hari kemarin aku masih tidak tahu apa yang kuinginkan. Now I do. Apapun yang aku butuhkan ada di kamu. Kamu rumahku, tempat ke mana aku selalu ingin pulang. Sedari dulu." Aku tidak menyahut. "Kakiku kram. Cepat katakanlah sesuatu. Kalau kamu sebenarnya ingin mengatakan 'tidak', sekali lagi kamu bantu aku dengan berpura-pura mengatakan 'ya' biar aku tidak malu," bisiknya dengan ringisan. Kakinya pasti sekarang kesemutan.

"Hahahahahahaha," aku meledak dalam tawa mendengar dia berbisik seperti itu. Para turis di Ryoshi heran. Aku bangkit dari dudukku sembari kubantu dia berdiri. "Guys, he wants me to pretend to say 'yes' to save his butt!" pekikku. Orang-orang kembali tertawa dan berhuhu panjang. Kelakuanku membuat wajahnya makin memerah. Aku berdiri di hadapannya. Menatapnya dalam-dalam. Kegelisahanku raib dengan gaibnya. Kegelisahanku meninggalkan jawaban: aku gelisah karena aku tidak pernah rela dia melamar gadis itu. Aku tersenyum dan dengan lembut kukecup bibirnya. Ini hari ketujuh. Hari terakhir seperti yang direncanakannya.

"Yes," ucapku mantap. " That's not a pretence. I totally mean it. Yes, I will."

Ryoshi kembali bergemuruh sementara dia berjingkrak-jingkrak berlari ke atas panggung dan menyanyi, "There are many things that I would like to say to you, but I don't know how. Because maybe you're gonna be the one that saves me. And afterall, you're my wonderwall."


~MabukOasis~

Saturday, December 8, 2012

Sepuluh Ikan

Sepuluh ikan yang kupelihara di dunia maya lucu sekali
Entah jenis ikan apa, arwana atau koi, aku tidaklah peduli
Toh, tidak ada hubungannya dengan rejeki
Faktanya, ikan-ikanku itu berwarna-warni
Hitam, kuning, jingga, merah, dan hijau berenang ke sana sini
Kuberi makan baru tadi pagi
Sebelumnya aku tidaklah mengetahui
Kalau klik tetikus di habitat ikanku bisa menjadi nasi
Nasi? Ah, entahlah.Warnanya hitam seperti bebiji
Berebut ikanku makan tadi
Hmm, memang sepuluh ikan yang kupelihara di dunia maya lucu sekali
Semoga abadi dan tidak mati



*Iseng dan ga jelas*

Friday, December 7, 2012

BAHASA MALAM



Apa bahasa yang bisa dikuasai malam?
Ketika kayuhmu menemukan bintang
Sayapku mengepak renungan bulan
Melarikannya ke lain dunia
Tempat segala berbeda menemukan dirinya
Tanpa cerita
Tanpa lagu

Malam tak kan bisa berkata-kata
Sebab kelopak pagi
Menuntaskannya


*Gambar diambil dari sini