Hold my hands
Show me the way
To an endless happiness
Hold my hands
Show me the way
To an endless happiness
Hold my hands
Show me the way
To an endless happiness
Please.
Friday, November 30, 2012
Sosok di Nasi Goreng
Sepiring penuh nasi goreng tersaji di hadapanku. Tampak lezat menggiurkan. Si pramusaji masih sibuk meletakkan sendok dan garpu di mejaku lalu dengan cerkas dia meletakkan sewadah mungil acar mentimun yang segar dan sewadah kecil cabe rawit potong. Kembali ke nasi gorengku. merah saosnya menggoda gairah. Ada udang-udang kecil malu-malu menyembul di sela bulir nasi yang pulen. Kacang polong rancak dengan warna hijaunya, menghangatkan diri bersama nasi yang mengepul. Wangi seledri cincang menyeruak, menghujaniku dengan selera. Aku bersiap menyantap, menghujamkan sendok dan garpu ke gundukan nasi yang gembira itu. Namun, sendokku tetap mengangkasa, garpuku melayang di udara.
"Kenapa? Yuk, makan!" kernyit Dina, seorang sahabat yang kuajak makan malam. Dia pesan koloke. Aku terdiam dan mengamati nasi gorengku. Seketika aku menggeleng kebas. Tidak mungkin. Dina tidak sabar dan mulai menyantap kolokenya dengan nikmat.
Nasi goreng itu... tidak sanggup kumakan. Secara tiba-tiba dia memberikan jelmaan sesosok pribadi yang aku kenal. Ada wajah sosok itu di tiap biji nasi yang terhampar di piringku. Sosok itu membunglon merah agar sama warna dengan nasi. Ah, muak sekali! Udang-udang kecil yang tak berkepala secara mengejutkan memakai kepala sosok itu. Tersenyum sampai akhirnya tertawa terbahak-bahak. Ah, dia memang kepala udang! Lalu, kawanan kacang polong membentuk bola-bola mata sosok itu. Melotot dan nyalang. Koloni seledri cincang kompak membangun gerai-gerai halus rambut sosok itu. Lalu beriringan cabe rawit dan acar mentimun menyajikan visual bibir sosok itu yang menawan, yang belum pernah sekalipun kukecup.
Dia tetap bertahan di sana, di nasi gorengku. Aku kumpulkan seluruh daya di dalam tubuhku untuk mampu menyendok sesuap dirinya. Berhasil. Kubuka mulut dan kujejalkan dia di sana. Kalap. Kukunyah lama-lama sampai terasa glukosa. Sesendok lagi, lagi, lagi, bahkan yang beterbangan ke luar piring aku punguti. Aku telan semua. Pahit dan asam mentimun, pedas cabe, manis nasi, asin udang, tawar polong dan seledri. Tidak akan kusisakan.
"Pelan-pelan aja. Film yang mau kita tonton belum mulai kok," ujar Dina lagi tetap dengan pandangan heran. Koloke masih memenuhi separuh piringnya. Aku tidak mau melambat karena semakin aku melambat, semakin lama sosok itu bercokol di sana. Kutandaskan semua. Tidak ada bulir nasi tersisa, kawanan udang punah, koloni seledri hilang, kumpulan kacang polong tiada, acar dan cabe raib. Piringku bersih.
Lega, sosok itu sudah musnah. Dia akan menjadi korban lambungku yang digestif. Aku tidak peduli lagi. Toh, dia hanya akan jadi sekresi dari metabolismeku.
"Kenapa? Yuk, makan!" kernyit Dina, seorang sahabat yang kuajak makan malam. Dia pesan koloke. Aku terdiam dan mengamati nasi gorengku. Seketika aku menggeleng kebas. Tidak mungkin. Dina tidak sabar dan mulai menyantap kolokenya dengan nikmat.
Nasi goreng itu... tidak sanggup kumakan. Secara tiba-tiba dia memberikan jelmaan sesosok pribadi yang aku kenal. Ada wajah sosok itu di tiap biji nasi yang terhampar di piringku. Sosok itu membunglon merah agar sama warna dengan nasi. Ah, muak sekali! Udang-udang kecil yang tak berkepala secara mengejutkan memakai kepala sosok itu. Tersenyum sampai akhirnya tertawa terbahak-bahak. Ah, dia memang kepala udang! Lalu, kawanan kacang polong membentuk bola-bola mata sosok itu. Melotot dan nyalang. Koloni seledri cincang kompak membangun gerai-gerai halus rambut sosok itu. Lalu beriringan cabe rawit dan acar mentimun menyajikan visual bibir sosok itu yang menawan, yang belum pernah sekalipun kukecup.
Dia tetap bertahan di sana, di nasi gorengku. Aku kumpulkan seluruh daya di dalam tubuhku untuk mampu menyendok sesuap dirinya. Berhasil. Kubuka mulut dan kujejalkan dia di sana. Kalap. Kukunyah lama-lama sampai terasa glukosa. Sesendok lagi, lagi, lagi, bahkan yang beterbangan ke luar piring aku punguti. Aku telan semua. Pahit dan asam mentimun, pedas cabe, manis nasi, asin udang, tawar polong dan seledri. Tidak akan kusisakan.
"Pelan-pelan aja. Film yang mau kita tonton belum mulai kok," ujar Dina lagi tetap dengan pandangan heran. Koloke masih memenuhi separuh piringnya. Aku tidak mau melambat karena semakin aku melambat, semakin lama sosok itu bercokol di sana. Kutandaskan semua. Tidak ada bulir nasi tersisa, kawanan udang punah, koloni seledri hilang, kumpulan kacang polong tiada, acar dan cabe raib. Piringku bersih.
Lega, sosok itu sudah musnah. Dia akan menjadi korban lambungku yang digestif. Aku tidak peduli lagi. Toh, dia hanya akan jadi sekresi dari metabolismeku.
ODE UNTUK BUMI
Selamat pagi, Bumi.
Ajari aku perlahan
tentang rasa bahagia
tentang rasa duka
bagaimana seharusnya tawa
bagaimana semestinya nestapa
Selamat pagi, Bumi.
Undang aku melangkah
mengenal titik-titik rahasia keindahan
bercengkrama dengan bulir airmata
memeluk erat kegetiran hati
menyelinap ke dalam senyum samar
Selamat pagi, Bumi.
Tunjukkan aku cara-cara
menyikapi angin yang menari
menangkap kelopak bunga yang gugur
menggoda musim untuk kembali
menghadap rembulan yang mati
Selamat pagi, Bumi.
Mari berotasi
Mari berevolusi
terhadap hidup yang senantiasa berganti
Ajari aku perlahan
tentang rasa bahagia
tentang rasa duka
bagaimana seharusnya tawa
bagaimana semestinya nestapa
Selamat pagi, Bumi.
Undang aku melangkah
mengenal titik-titik rahasia keindahan
bercengkrama dengan bulir airmata
memeluk erat kegetiran hati
menyelinap ke dalam senyum samar
Selamat pagi, Bumi.
Tunjukkan aku cara-cara
menyikapi angin yang menari
menangkap kelopak bunga yang gugur
menggoda musim untuk kembali
menghadap rembulan yang mati
Selamat pagi, Bumi.
Mari berotasi
Mari berevolusi
terhadap hidup yang senantiasa berganti
Thursday, November 29, 2012
PUITIS IRONIS
Tahukah kau?
Menjadi cinta itu melelahkan
Dipelihara, diberi harapan
Ditumbuhkembangkan
Hanya untuk dipatahkan
Berkali-kali tanpa pernah henti
Begitu terus siklusnya.
Tahukah kau?
Memanen rindu itu menyakitkan
Ditadah, diwadahi
Ditabung, ditampung
Tanpa harus tahu dilayarkan ke laut mana
Tetaplah dia tersimpan di geladak
Tanpa kompas, tanpa nakhoda
Hingga karam
Tahukah kau?
Menjadi puitis itu ironis
Melantunkan bait-bait liris
Merangkaikan diksi-diksi romantis
Mereinkarnasi makna-makna
Kepada cermin kosong
yang tak memantulkan bayangan siapapun
Kau berdeklamasi bersama sepi
Lelah
Menjadi cinta itu melelahkan
Dipelihara, diberi harapan
Ditumbuhkembangkan
Hanya untuk dipatahkan
Berkali-kali tanpa pernah henti
Begitu terus siklusnya.
Tahukah kau?
Memanen rindu itu menyakitkan
Ditadah, diwadahi
Ditabung, ditampung
Tanpa harus tahu dilayarkan ke laut mana
Tetaplah dia tersimpan di geladak
Tanpa kompas, tanpa nakhoda
Hingga karam
Tahukah kau?
Menjadi puitis itu ironis
Melantunkan bait-bait liris
Merangkaikan diksi-diksi romantis
Mereinkarnasi makna-makna
Kepada cermin kosong
yang tak memantulkan bayangan siapapun
Kau berdeklamasi bersama sepi
Lelah
Wednesday, November 28, 2012
RANDOM NINE
I
Hubungan unik kaset tape dan sebatang pensil
Anak penikmat musik 90-an pasti mengerti
Ketika pita kaset tape kusut
Pensil membantu membetulkannya
Aku adalah kaset tape
Kamu pensil
Aku masai, kau menguntaiku kembali
Mampu lagi kudendangkan lagu cinta
yang kupersembahkan untukmu
Walaupun kau menuliskan liriknya
untuk seseorang yang lain: kekasih hatimu
II
Cukup suaramu saja,
Walaupun cuma mengatakan "Ya."
Sisanya biarlah kuimpikan: sebuah pertemuan dan pelukan
III
Merindukanmu adalah karunia
bagi hatiku yang nelangsa
karena dengan rindu dia tahu
Engkau sejatinya ada
Menuliskanmu adalah doa
bagi hidupku yang nestapa
karena dengan aksara kata
dia tidak buta
Engkau sesungguhnya nyata
IV
Jika bahagia itu berwujud benda
Apa saja,
bisa meja atau manusia
Maka, kutunjuk kau yang bersahaja
yang memiliki cinta dan tenaga
untuk bermuara
di diriku yang enggan berkelana
V
Salahku: tidak menunggu
Salahmu: tidak tepat waktu
Salah kita: menjadi manusia-manusia lugu
Salah waktu: tidak mau membantu
Maukah kita kembali ke awal dulu?
(Ditemani Coldplay's The Scientist)
VI
Dia sudah bergerak pelan mengambil langkah
Inci demi inci
Perlahan meninggalkanku
Sementara aku stagnan
Konstan dengan cinta bernilai sama
Aku tetap berdiam diri
dengan cinta yang sama kualitas dan kuantitasnya di dalam hati
meski dia tak lagi menemani
Inikah yang disebut cinta sejati?
Atau sebenarnya kebodohan nurani?
VII
Cinta ini hadir untukmu begitu saja di sana.
Jangan kau gugat alasannya.
Cinta ini tidak buta.
Dia hanya bengal, tidak mau tahu dan keras kepala.
Biarlah dia menetap di sini selagi kau
bersiap untuk pergi.
Hati-hati, jaga diri.
VIII
Baiklah. Tidak ada lagi cerita syahdu
Tidak ada lagi tawa merdu
Tidak ada lagi lagu mendayu
Tidak ada lagi kamu
Tidak ada lagi aku
Kenangan pun semu
seperti wangi bunga yang melangu
IX
Dan kamu pun hilang
Masih ada sisa tapakmu
Seiring waktu akan kumuseumkan
Atau kupajang di salah satu dinding rumahku
Tiap kupandangi, aku akan membatin
"Ah, aku pernah di sana bersamamu!"
dengan senyum kemerdekaan
(Diiringi La Roux's As If By Magic)
(Diiringi La Roux's As If By Magic)
MONOLOG HATI (Khayalan Di Pagi Hari)
Untuk AD
Abang, mari silakan duduk
Lesehan saja tidak apa-apa ya?
Cukup kita berdua saja
seperti yang sejak awal Abang rencanakan
seperti yang dari dulu Ade cita-citakan
Sepuas-puasnya Ade peluk Abang
"Iya kan nanti sepuasnya Ade pas kita ketemu"
Sender: Andr* D***el
+62821182705xx
23-Oct-2012 12:46:03 am
23-Oct-2012 12:46:03 am
Berfoto-foto berdua, bersama
"Abang gak bawa kamera De. Nanti foto-fotonya. Masih banyak waktu, kan di Bali nanti kita foto berdua sepuasnya."
Sender: Andr* D***el
+62821182705xx
Sent: 23-Oct-2012 12:16:39 am
Juga gigit Abang sampai habis
"Dari dulu sampai sekarang kalau gemes main gigit, Abang kalau ada di situ sudah habis beneran tinggal tulang aja."
Sender: Andr* D***el
+62821182705xx
Sent: 22-Oct-2012 10:54:42 pm
Mari, Abangku sayang, kita berdiskusi
atau tepatnya berdebat kusir
tentang lebih keren siapa antara Superman dan Spiderman
dan tetap Ade pilih Spiderman
tentang lebih baik pelihara kucing atau anjing
tentang foto Ade yang tidak bagus
Yah, Ade tau Abang seorang fotografer pro
sementara Ade hanya bersenjatakan kamera saku
tentang lagu-lagu: Oasis, Guns N Roses-yang Abang terjemahkan Pistol dan Mawar,
Gotye, Boyce Avenue, Coldplay, Alter Bridge, RHCP,
Gorrilaz, Robbie Williams, Dream Theater, hingga Rhoma Irama dan banyak lagi
Menyanyilah Abang, seperti biasa. Ade dengarkan.
Silakan Abang bercerita, Ade pasang kuping.
: Ada almarhumah yang bikin Abang sakit fisik dan hati, yang masih Abang sayangi
Almarhumah yang selalu menyanyikan Cahaya Bulan di karaoke bersama Abang
Almarhumah dengan sms dan telepon-telepon unik tengah malam
setelah penerbangan-penerbangan yang Ia tempuh
Almarhumah si Pramugari, yang bertelanjang bersama sahabat sendiri
: Ada Fanny yang dulu sempat Abang taksir, tapi dia tidak menggubris
Fanny seorang pramugrari sekaligus model dan Ade sempat bertanya mengapa begitu banyak pramugari
beterbangan di angkasa Abang. Tapi, Abang pun tidak tahu alasannya.
Fanny yang kini berbalik mengejar Abang
sampai bertandang ke kos bawa sarapan dan meminta ngobrol di dalam kamar
berdua saja. Abang anggap dia sedang mendiskon diri dan Abang tidak suka.
Ada Omen, sahabat terbaik Abang, yang mengalami perputaran roda kehidupan.
Dulu dia berjaya dan kini harus kembali berusaha. Abang membantu seikhlasnya berupa tabungan untuk masa depan anak Omen.
"Abang pengen aja bantu keluarga kecilnya Omen"
Sender: Andr* D***el
+62821182705xx
16-Oct-2012 10:39:58 pm
16-Oct-2012 10:39:58 pm
: Ada Papa yang sudah hampir 20 tahun tidak Abang temui.
Abang rindu dibacakan kisah wayang. Abang rindu sholat berjamaah dengan Papa.
Mungkin nanti semoga dibukakan jalan oleh Tuhan untuk saling berlapang dada,
memaklumi kesalahpahaman masa lalu saat Abang masih kanak (atau sudah?)
: Terakhir ada Shila. Labuhan hidup dan cinta Abang. Segalanya tiba-tiba berputar terlalu cepat.
Abang bertemu Shila, melamarnya, menikah, lalu berbulan madu dan tak pernah kembali.
Mungkin Shila adalah seorang yang nyaman untuk teman berdiskusi
Nyambung dari A-Z lalu balik ke K dan melompat jauh ke R
tanpa ada sambungan yang terputus.
Mungkin Shila adalah seseorang yang bisa menyayangi Abang dengan tulus ikhlas
bukan sayang lantaran kasihan
Mungkin Shila juga suka Melancholy Hill, Champagne Supernova, Patience, Angels, Yellow,
hingga "Hidup tanpa cinta bagai taman tak berbunga oh begitulah kata para pujangga"
Mungkin Shila juga pencinta Spiderman dan mendebat Superman
Mungkin Shila mampu membuat Abang merasa spesial
Mungkin
Shila
seperti
Ade
Abangku, jika Shila mengatakan bahwa kanker bukan mendekatkan ke kematian melainkan ke Tuhan, maka Ade punya teori berbeda:
Kita sesungguhnya tidak perlu mendekatkan diri ke Tuhan
karena Tuhan sudah ada di diri kita
Tuhan adalah tiap oksigen dan karbondioksida yang keluar masuk tiap hari ke tubuh
Tuhan adalah tiap tetes air yang kita teguk
Tuhan ada di setiap hal yang kita nikmati
Jadi mau sedekat apa lagi?
Sementara kanker adalah penyakit
Tapi tidak harus Abang merasa sakit
Justru dengan kanker, Abang punya cukup daya
untuk percaya bahwa hidup ini indah begini adanya.
Supermanku, jangan pernah berpura-pura tidak pernah terjadi sesuatu yang luar biasa di antara kita.
Ada yang pernah bergolak di hati kita dan pernah meminta untuk tidak pergi.
Jangan pernah menganggap Ade orang asing
Jangan pernah Abang mengasingkan diri
Itu tidak adil
Ade habis kata
Penat di jiwa
Semoga kita berjumpa
Suatu hari nanti tanpa ada yang merasa luka
Kalender IV: Desember
“Jangan pernah Desember datang”
Hardikku pada Tuhan saat berdoa
Tuhan diam, menontoniku merobek Desember di tiap kalender
Desember menggeletar, ngeri.
Kulihat takut menggelayut kuat di pelupuknya
Takut akan hatinya diambil
Takut bila dia tidak memiliki cukup kekuatan
Melawan sensasi yang timbul
Takut akan esok hari di pangkuan Januari
“Kau mengoyak cermin, Nak.” kata Tuhan
-untuk Desember yang tak mampu menunggu-
*bagian akhir dari tetralogi puisi bertema Kalender*
~Tetralogi Kalender dipersembahkan khusus untuk AD yang meninggalkanku di November, tidak datang di Desember, tidak menepati janji, namun tetap menjadi inspirasi~
Tuesday, November 27, 2012
Kalender III: November
Dia diam
Dia bungkam
Segala pintaku diredam
Ditunjukkannya aku angka-angka
Bingung makna akan matematika
Jelas sekali bukan genetika
Ini kisah penuh logika
Kau jangan bersinergi dengan jam dinding!
Pekikku nyaring ditingkahi bunyi gemerincing
Analogimu bikin pusing
Dan memang aku sinting
Kumohon, berhentilah.
Aku sudah cukup lelah
Menengadah hingga ruah
Bertahanlah di 30
Berikan sedikit saja peluh
Jangan mengeluh
Kumohon.
Dia tidak peduli.
-untuk November yang berlari, tak sudi berhenti-
*bagian ketiga dari tetralogi puisi bertema Kalender*
*bagian ketiga dari tetralogi puisi bertema Kalender*
TRULY TRUNYAN
Trunyan, sebuah nama desa yang sudah sangat familiar di telinga masyarakat Bali, familiar di Indonesia bahkan mancanegara. Trunyan, dikenal di seluruh penjuru dunia karena keunikan budayanya, terutama cara masyarakat Trunyan memperlakukan jasad warganya yang telah meninggal dunia. Banyak yang penasaran ingin melihat langsung mayat-mayat yang hanya diletakkan di atas tanah dan konon katanya tidak berbau. Saya termasuk salah satu orang yang penasaran tersebut. Simak perjalanan saya dan dua orang kawan berikut saat menjelajah Trunyan.
Ketika menerima kabar bahwa seorang teman bernama Jessica Permatasari akan berkunjung ke Bali dan dia mengajak saya untuk mengunjungi Trunyan, saya langsung setuju untuk "diculik" dan membatalkan rencana saya untuk pulang kampung ke Singaraja. Setelah berkirim pesan singkat mengenai teknis pertemuan, akhirnya pada tanggal 24 November 2012 pukul 20.00 WITA saya bertemu Jessica di sebuah kawasan rumah makan di daerah Renon. Ternyata Jessica tidak sendiri, dia bersama tiga orang lain yang diperkenalkan sebagai temannya. Sebagai informasi, ini kali pertama saya bertemu dengan Jessica secara langsung. Sebelumnya kami berkomunikasi lewat sebuah grup alumni penerima beasiswa VDMS di facebook. Setelah mengobrol berbagai macam topik, kami memutuskan untuk berangkat. Rencana awal kami malam itu akan menginap di kawasan Ubud, tetapi segera saja ada perubahan rencana. Kami memutuskan untuk menginap di Kintamani dengan alasan agar bisa tiba lebih pagi di Trunyan dan tidak terlalu terburu-buru nantinya. Tepat pukul 23.00 WITA, saya, Jessica dan Hadi (dua orang teman tidak ikut karena sesuatu dan lain hal) segera menembus perlahan kemacetan di Jl. Tantular menuju Kintamani lewat jalur Ubud. Perjalanan menuju Kintamani memakan satu setengah jam. Mata dan badan yang sudah lelah mengisyaratkan kami untuk segera beristirahat. Kami mulai mencari-cari hotel yang masih buka di jam larut seperti itu. Beruntung, kami menemukan satu penginapan yang masih menerima tamu di tengah malam buta. Penginapan tersebut bernama Puri Bening berlokasi di Kawasan Toya Bungkah. Rate hotel sangat mahal yaitu Rp 450.000,-/room/night. Kami yang lelah mencoba bernegosiasi dengan petugas security, yang malam itu tampaknya merangkap menjadi resepsionis, agar diberi keringanan biaya. Sebenarnya Hadi berpikir kalaupun tidak diizinkan menawar, tidak jadi soal karena kami sangat butuh tidur yang bermutu. Lagi-lagi kami beruntung, si bapak satpam cum resepsionis memberi kami harga Rp 350.000,- and breakfast included. Tanpa banyak perhitungan sebelum si pak satpam berubah pikiran, kami ambil satu kamar. Saat melihat kamar di lantai 3, yang kata si pak satpam punya view paling bagus, kami agak pesimis dengan kondisi kamar. Ukuran kamar bisa dibilang sangat besar. Terdapat dua double bed karena sejatinya kamar ini ditujukan untuk 4 orang tamu, satu kamar mandi yang luas dengan bathtub yang sepertinya muat untuk 3 orang, dilengkapi dengan shower hot and cold (saya tidak tahu apakah hot shower berfungsi atau tidak), sebuah lemari, sebuah televisi tabung, dan sebuah dispenser air yang kami ragukan kelayakan airnya. Kamar ini tidak dilengkapi dengan AC berhubung udara di sini sudah dingin (Meskipun tidak terlalu dingin pada saat kami di sana). Segalanya tampak tua dan sepertinya sangat jarang ditempati, bahkan Hadi sempat terbatuk-batuk sesaat setelah dia telentang di tempat tidur dan batuknya tidak henti-henti sampai dia harus meminum banyak air putih. Bukti cukup kuat untuk menyimpulkan tempat ini berdebu. Awalnya kami berniat tidur segera setelah menemukan pulau kapuk, tetapi rencana tinggallah rencana karena kami keasyikan mengobrol hingga pukul 03.00 WITA.
Terbangun keesokan harinya pada pukul 08.00 WITA, kami terlalu malas untuk beranjak dari tempat tidur. Saya menyatakan sindrom malas mandi melanda. Kami kembali bercerita-cerita, bahkan Hadi sempat melanjutkan tidurnya. Saya sempat melihat ke luar kamar untuk membuktikan view cantik yang diandalkan si pak satpam sebagai kelebihan kamar di lantai 3 ini. Si pak satpam tidak berlebihan. Di depan saya terhampar perbukitan dan danau Batur dengan airnya yang berkilauan. Saya memotret pemandangan indah tersebut dan dengan sok tahunya mengatakan pada Jessica itu adalah Gunung Batur (harap maklum, baru bangun dan tanpa kacamata, jadi tidak tahu bahwa ternyata pemandangan tersebut adalah bukit dan danau).
View depan kamar: Danau Batur dan perbukitan (sekali lagi, bukan G.Batur) |
Boat yang mengantar kami |
Sesaat setelah turun dari boat Ki-ka: saya, Hadi, Alanh, Jasmin, Jessica |
Welcome, mates! |
Jessica memotret kuburan Trunyan |
Selamat datang |
Tengkorak tersusun di undakan |
Bapak Ketut Susiman asyik bercerita, Hadi fokus mendengarkan, saya sibuk mencatat. |
Lalu bagaimana dengan jasad warga yang memiliki luka atau belum berkeluarga dikuburkan? Ternyata, Desa Trunyan memiliki 3 jenis kuburan yang berlokasi di tempat yang berbeda. Pertama adalah kuburan dengan pohon menyan yang kini menjadi obyek wisata tersebut. Kedua adalah kuburan bayi yang berlokasi di pusat Desa Trunyan. Jangan membayangkan yang dikuburkan di sini hanya bayi saja mengingat namanya "kuburan bayi". Selain bayi yang baru lahir, warga yang belum pernah menikah dan anak-anak yang belum ketus gigi (belum kehilangan gigi susu) dikuburkan di sini. Mayat bayi akan disemayamkan di gua-gua tebing yang terbentuk alami, sementara mayat orang dewasa akan dikuburkan seperti biasa di dalam liang. Kuburan ketiga adalah kuburan yang diperuntukkan bagi jasad warga yang meninggal secara tidak wajar atau salah pati seperti kecelakaan, bunuh diri, dan jasad-jasad yang memiliki luka. Jasad-jasad ini akan dikubur selayaknya penguburan mayat seperti di daerah-daerah lain. Kuburan ini terletak di perbatasan desa Trunyan dan desa Abang.
Masyarakat Desa Trunyan juga mengenal upacara Ngaben seperti daerah-daerah lain di Bali. Uniknya, jika di daerah lain di Bali mayat seseorang yang meninggal atau tulang-belulang alm/almh akan dikremasi, Desa Trunyan tidak mengenal pembakaran mayat. Pada saat upacara Ngaben, jasad atau tulang-belulang digantikan dengan kayu cendana yang ditulisi nama alm/almh dan kayu-kayu cendana itulah yang dibakar. Mengapa bukan tulang-belulangnya saja yang dibakar? Menurut Bapak Ketut Susiman, tulang-belulang tersebut sudah susah dikenali dulunya siapa dan seiring waktu tulang tersebut hancur karena dibiarkan tergeletak di kuburan.
Berhubung kuburan Trunyan ini hanya bisa ditempuh lewat jalur air, maka prosesi pengusungan jenazah harus dilakukan dengan perahu dayung. Para pelayat boleh menggunakan boat, tetapi lebih unik lagi para perempuan Desa Trunyan tidak diizinkan untuk memasuki area kuburan Trunyan. "Tanya saja perempuan-perempuan di sini seperti apa kuburan Trunyan, pasti mereka bilang tidak tahu," jelas Bapak Ketut Susiman.
Sejak dulu saya membayangkan kuburan Trunyan ini dipenuhi dengan pohon menyan yang menyerupai hutan pinus. Namun, ternyata hanya ada satu pohon menyan raksasa yang menjulang tinggi. Saya mencium ranting-ranting pohonnya untuk membuktikan ada wangi yang menyeruak keluar dari pohon tersebut. Saya kecewa karena pohon tersebut tidak wangi, pun setelah saya melukai rantingnya. Informasi yang kami dapat dari Bapak Ketut Susiman, pemerintah telah mencoba mengembangbiakkan pohon ini dengan berbagai cara seperti stek, cangkok, atau mencari biji buahnya untuk ditanam. Hasilnya nihil karena dipastikan batang yang mereka stek atau cangkok membusuk dan buah pohon menyan ini tidak memiliki biji. Murni kuasa Tuhan yang ikut campur di sini.
The magnificent and mysteriousTaru Menyan tree |
Pemukiman Desa Trunyan, Pura Panca Ring Jagat melatarbelakangi |
Di sinilah perpisahan kami dengan dua orang kawan baru: Alanh dan Jasmin. Mereka mengendarai motor matik kembali ke Nusa Dua sementara kami dengan mobil kembali ke Denpasar. Perjalanan dan penjelajahan yang manis dan ingin kami ulangi lagi suatu hari nanti.
Subscribe to:
Posts (Atom)