Memandangi telepon selular buluk berwarna hitam itu selalu
membuatku penuh harap. Semakin hari harapan itu semakin membubung tinggi,
terpapar sinar matahari lalu berfotosintetis dan bertumbuh kembang tanpa henti.
Menyentuh telepon selular buluk berwarna hitam itu selalu
membuatku tergoda. Godaan yang mengajak seluruh simpul sarafku untuk menegang
dan mengendur. Malu-malu kucing berkata iya lalu menggeleng tegas bilang tidak.
Melihat telepon selular buluk berwarna hitam itu selalu
membuatku meringis sakit. Semakin sakit, aku semakin ingin dia bergetar,
memberikan satu sinyal ada kehidupan di dalamnya. Namun, dalam diamnya justru
dia berbicara bahwa tak ada dunia lain di sana.
Terkadang khayalku terlalu muluk: Suatu hari secara
tiba-tiba telepon selular buluk berwarna hitam itu akan berbunyi “Pop” dan
kulihat kau sudah di sana. Keluar dari dunia bar hitam bernama telepon selular.
Tanpa pakaian serba putih, tanpa kuda, tanpa pedang, tanpa sayap. Kau bukan
malaikat, namun wajahmu bercahaya. Aku akan silau oleh kerupawanan senyummu. Aku
akan menghampirimu dan mereguk semua indahmu.
Tak kuperlukan lagi telepon selular buluk berwarna hitam
itu. Tak usah lagi kupandangi berhari-hari. Sakit akan lari lintang pukang. Sarafku
tidak akan lagi tarik ulur. Harapanku akan terus menjulang tinggi bahkan dia
kini akan jadi makhluk hibrida yang bersayap, berakar, astral dan extra
terestial.
Telepon selular buluk berwarna hitam itu masih teronggok di genggamanku. Hitam dan buluk hampir buduk. Tidak ada magis yang terjadi.
No comments:
Post a Comment