“Dia menipumu. Dia tidak nyata. Sesuatu yang tidak ada mampu
mengelabuimu. Itu bodoh. Double bodohnya ketika kamu tidak memutus tali
silaturahmi apalah itu. Taruhan, kamu akan jadi triple bodoh sebentar lagi
karena dia berhasil menipumu kembali,” begitu komentar orang-orang terdekatku
saat aku nyatakan hubungan kita terus berlanjut dan aku bahagia dengan adanya
kamu di sini. Jujur, aku kalah oleh komentar itu.
Meski aku mencoba untuk tidak peduli, namun masih ada satu
sisa pertanyaan yang tergagas setiap kali masa lalu—jika itu bisa disebut masa
lalu—menyentak: Kenapa?
Kali ini aku tidak memiliki harapan apapun tentangmu. Tidak
tentang kedatanganmu, tentang kejujuranmu, juga tentang perasaanmu. Nihil
harapan. Fantasi saja, tidak akan kukembangkan menjadi asa, impian atau
cita-cita. Sebab, aku tahu semua harapan terdahulu hanya kosong semata. Harapan
hanya akan makin menjadikanku seorang masokis, menyakiti diri demi memperdalam
luka kekecewaan yang belum sembuh benar. Sungguh tidak bagus.
Hanya saja, satu tanya tadi masih setia mengawang-awang:
Kenapa? Tanya ini ditujukan untuk masa lalu kita. Tanya ini membungkus semua
tanya yang ingin kuajukan, yang kuinginkan berkawan dengan penjelasan mendalam.
Semakin lama, semakin kuabaikan, semakin aku berusaha tidak mengucapkannya, dia
semakin membesar layaknya balon ulang tahun yang ditiup terus menerus hingga
kulitnya menegang, menipis, siap meletup dan merusakku permanen.
Aku tidak mau satu tanya ini meledak. Jika nanti dia sudah
menemukan jawaban, akan aku lepas ke udara. Aku biarkan dia terbang, mencari
rumahnya sendiri yang bisa dihuni mesra bersama jawaban. Jika nanti dia sudah
bahagia dengan jawaban, aku akan tetap mencinta seperti sedia kala. Cinta yang
mungkin disertai dengan permintaan: tetaplah di sini dan jangan membodohiku
terus-menerus. Mungkin juga tidak ada rasa apapun yang tersisa, termasuk rasa
percaya yang kini tinggal setengah mangkuk saja.
Aku nyata, pun cinta yang kupunya. Banggakah kamu mengetahui
ada seseorang di seberang nusa yang mencintaimu tanpa mengetahui betul dirimu
dan masih pula kamu sempatkan untuk membuatnya tampak bodoh? Bangga? Senang?
Puas? Aku nyata, berwujud ada, dan punya hati yang merasa. Masih tegakah kamu
menjadikanku satu dari sekian wayang pertunjukanmu? Tergelak-gelakkah kamu saat
mengetahui aku memakan umpan yang kamu lempar? Terbahak-bahakkah kamu
mengetahui kamu mampu membawaku ke salah satu kreasi narasimu? Aku nyata, aku
manusia, dengan cinta yang kupunya, aku jadi percaya. Padamu. Dan masih saja
aku menjadi bahan leluconmu.
Aku marah pada diri sendiri karena mengambil keputusan untuk
memberimu kesempatan sekali lagi. Perlahan kuketahui juga kamu tetap seorang
yang sama, yang gemar menanam duka, menebar lara dan menyembunyikan pelipurnya.
Aku marah pada hatiku yang melemah tanpa ada kamu dan kisahmu. Meski alam
sadarku telah memagarinya, melindunginya dari retasan cerita yang kamu dapat
entah dari mana, hati ini tetap saja merengek meminta kamu. Itulah dualisme yang
tak bisa aku kesampingkan. Aku cukup waspada untuk serangan kedua yang sedang
kamu gencarkan sementara aku masih benar-benar cinta pada sosok yang kamu cipta.
Berusaha untuk tidak terlalu mabuk, namun aku sekaligus tak kuasa memadamkan
percik cinta.
Siapakah kamu sesungguhnya? Terbuat dari apakah hatimu?
Bagaimana kamu bisa menjadi sosok yang sempurna yang aku inginkan, yang
dikagumi dan ingin dimiliki oleh hatiku yang lugu? Dari mana semua kemampuanmu
itu berasal? Kapan kamu bersedia
mengakhiri dagelan siksa ini? Kenapa aku?
Aku sesungguhnya lelah. Aku tidak ingin mendera siapapun, tidak
kamu, tidak kekasih sejatimu, tidak teman hidup yang kupilih, termasuk tidak diriku
sendiri. Siksa ini sudah melewati batas kemampuan jasmani dan rohaniku untuk
menahannya. Aku menanggung semua sendiri, tahu? Aku sendiri. Aku lemah.
Kasihanilah aku.
Berhentilah berpura-pura dan jawab saja.
~Catatan yang kukirimkan padanya lewat email. Masih setia menunggu jawaban. Selama masa menunggu ini, mari tetap berbagi~