Wednesday, May 29, 2013

Bahagia Itu Sederhana


Pagi itu saya berangkat ke kantor seperti biasa: berjalan kaki dari kos, mampir di warung untuk membeli roti, lalu membeli jus buah di warung lain yang jaraknya tidak jauh dari warung roti, dan meneruskan perjalanan ke kantor yang jaraknya hanya sepuluh menit. Di gang menuju kantor, seorang staf vila menghentikan laju motornya di sisi saya. Si staf tidak berkata apapun, saya malas berbasa-basi, saya langsung loncat ke kursi penumpang dan dia kembali melajukan kendaraannya.Memasuki area kantor, para petugas security sibuk bersuit-suit menggoda saya yang saya balas dengan kiss bye. Staf vila menurunkan saya tepat di area presensi finger print dan check clock. Seperti biasa, saya kesulitan melakukan finger print dan check clock. Berulang kali mesin finger print berkata "Please try again" dan mesin check clock memuntahkan kembali kartu presensiku. Gemas, saya berhenti berusaha dan langsung berlari ke lantai atas. Selain karena waktu yang memburu, nyamuk-nyamuk di area presensi juga beraksi zombie. Sesampainya di ruangan, setelah menyimpan jus di kulkas, betapa terkejutnya saya mendapati sebuah dompet hitam dengan aksen satu bunga mawar timbul di salah satu sudutnya tergeletak manis di meja kerja. Saya tahu pemilik dompet itu: seorang bule wanita tua dari Los Angeles. Itu kesayangannya. Ada catatan di sebuah kertas yang ditempel di dompet itu: "For Dewi". Maklum, orang asing di kantorku tidak ada yang bisa menyebut "Dwi". Di dalam dompet itu terdapat sebuah kertas dengan tulisan tangan

Dewi,
Thank you for your help in getting me a plane ticket home. You and Sean really saved me. See you very soon.
Love,
Debbie

Saya tersenyum membaca isi catatan tersebut. Saya bahagia sekali karena saya bisa merasakan ketulusan Debbie berterima kasih dengan cara yang paling sederhana. Saya menyimpan dompet itu ke dalam tas. Tak lupa saya masukkan juga catatan Debbie tadi. Sepanjang hari saya tersenyum, tidak peduli Sean (atasan saya) memfak-fak para supervisor dan manajer yang sedang laporan harian. Meski sesekali dia memanggil saya dengan nada grumpy, saya selalu menghadap dengan senyum bahagia di wajah.

***

Masih adegan di kantor di hari lain. Kebiasaan pagi saya seusai membersihkan meja bos dan mengawasi staf membersihkan ruangan bos, ruanganku dan ruangan arsitek, adalah mengecek "laporan kehilangan dan ditemukan" atau bahasa Inggrisnya "Lost and Found Reports". Bule itu terkadang suka melakukan hal-hal konyol jika sudah mabuk, terkadang suka meninggalkan tas, dompet, handphone, kartu kredit/debit, kunci hotel, kunci motor, kacamata, jam tangan, dan lain sebagainya. Pagi itu, laporan penemuannya cukup mengejutkan yaitu sebuah paspor. Saya cek nama dan kewarganegaraan pemilik paspor tersebut: seorang wanita muda usia 20an dari Brasil bernama Luiza. Hal pertama yang saya lakukan adalah mengirim surat elektronik ke kedutaan Brasil di Denpasar untuk menginformasikan bahwa paspor salah seorang warga negaranya tertinggal di klub tempat saya bekerja dan kini aman bersama saya, juga saya meminta mereka untuk menginformasikan kepada Luiza. Beruntung, pihak kedutaan merespon cepat dengan mengkonfirmasi bahwa mereka telah menghubungi Luiza. Tidak berselang lama, Luiza menelepon saya dan dia berseru-seru gembira mengetahui bahwa paspornya baik-baik saja.

Keesokan harinya, Luiza datang ke ruangan saya dengan wajah bingung karena dia melihat banyak orang di ruangan dan dia belum tahu saya. Dia pun bertanya, "Which one of you guys named Dewi?" Langsung saya berseru, "Luiza!" Wajah Luiza langsung drastis berubah dari bingung ke lega. Dia terharu sekali dan langsung berlari ke arah saya, spontan memeluk saya erat.

"Thank you so much, Dewi. I don't know what to say. I was so confused when I realized I lost my passport. I didn't enjoy my day, but now I can breathe. Oh my god. Thank you so much. Thanks a lot," ucapnya sambil tidak melepas pelukan.

Saya yang melepas pelukannya sembari berkata, "It's ok. I'm just doing my job. Anyway, next time please be careful. Passport is the life of travelers like you."

Hari itu, Luiza bisa kembali menikmati liburannya. Saya pun bahagia karena kini Luiza bisa tenang dan melenggang gembira.

***

Hal-hal seperti cerita saya di atas selalu membuat saya berpikir bahwa kebahagian itu tidak usah dikejar hingga ke ujung dunia. Dijamin tidak akan ketemu. Dunia tidak berujung karena Bumi bulat. Kebahagiaan itu tidak terletak pada barang-barang mewah nan mahal yang justru membuat kocek kita menipis. Kebahagiaan itu bukan emas, intan, atau permata.

Kebahagiaan saya tercipta dari hal-hal kecil yang mungkin akan selalu terlewat oleh pengawasan pikiran dan hati. Kebahagiaan saya sama sekali bukan saja tentang saya. Kebahagiaan itu tidak melulu persoalan materi. Kebahagiaan bisa mengambil berbagai rupa dan seringkali hal-hal minor yang bisa membuat kita merasa benar-benar bahagia. Kebahagiaan itu bisa saja berupa sapaan pagi hari dari para sahabat lewat aplikasi di handphone pintar. Kebahagiaan itu mungkin berupa tanaman bunga peliharaan kalian berbunga untuk pertama kali. Kebahagiaan bisa berupa berita bahwa teman kita mendapat beasiswa untuk meneruskan sekolah di luar negeri. Kebahagiaan bisa berbentuk sebuah foto kiriman kakak atau adik kita yang menunjukkan mereka sedang menikmati liburan. Kebahagiaan itu ada dalam diri sendiri. Sederhana saja.

Jadi, berbahagialah akan segala hal di sekeliling kita, bahkan ketika kita terpuruk karena sekali lagi, kebahagiaan tidak selalu harus tentang diri sendiri.

Cheer up and chin up!


#Catatan sambil terbahak-bahak menonton The Comment.

Tuesday, May 28, 2013

SETERU


Aku yakin aku tidak mau menghabisi seteru ini. Membiarkan jarak makin merekah di antara kita. Menyimpan suara dan kata hanya untuk batin kita masing-masing. Aku tidak merasa rindu meski telah bertahun kita absen bertegur sapa dan bertukar senyum.

Ya, aku memang menyimpan dendam. Luka hati yang kamu torehkan masih saja basah hingga kini.  Ketakutan yang dulu sempat kamu beri menjadikanku tidak lagi menaruh hormat padamu. Semua kasih dan sayangku sirna sudah, mencapai garis akhir.

Aku enggan. Aku sudah malas. Jalani saja hari tuamu, Kakek.





#Catatan usai makan siang dan kebencian itu terus ada untuknya

Thursday, May 23, 2013

Gravitasi, Levitasi

Gravitasi
Cengkrammu pada tubuhku
Ikatanmu terhadap nyawaku
Lepaskan
Bebaskan


Biar aku berlevitasi



#Catatan asal-asalan cuma biar ada postingan terbaru

Tuesday, May 21, 2013

ES KRIM


Siapa yang berani melarangku menikmati es krim? Dalam keadaan apapun, semisal demam, batuk atau pilek, jika aku mau menikmati es krim, aku akan membeli kemudian kunikmati. Surga! Kamu yang dulu melarangku tidak pernah tahu hal ini, kan?

Aku tidak pernah pilih-pilih es krim yang seperti apa. Selama dia disebut "es krim" dan memang merupakan es krim, aku suka. Harga murah atau mahal, bermerek atau tidak, di tempat elite atau emperan, rasa vanila atau coklat, berbentuk stick atau cone atau cup, aku tidak peduli. Semua karena aku suka es krim.

Pernah aku ditraktir menikmati es krim cone dengan harga yang menurutku super mahal hanya untuk secorong es krim dengan rasa vanila. Pernah aku ditraktir menikmati es krim yang bisa kupilih sendiri campuran buahnya. Pernah aku ditraktir menikmati gelato di Seminyak Square. Beli sendiri? Sering! Hanya saja es krim yang biasa beredar di pasaran.

Cita-citaku yang berhubungan dengan es krim? Hmm... Tidak mudah mewujudkan mimpi ini, tapi aku yakin akan terwujud suatu hari nanti: terbang ke Italia, mencari gerai es krim bernama Gelateria K2 (Konon, Gelateria K2 ini terenak di daerahnya-yang sama sekali aku tidak tahu ada di belahan mana Italia). Aku akan menemui pemiliknya hanya untuk meminta dia melayaniku secara khusus, membuatkan dan mengantarkan pesanan es krim yang kumau. Sekaligus menunjukkan kepadanya bahwa aku mampu berbahagia, cukup dengan es krimnya saja, tanpa dia di hidupku.

Es krim. Ice cream. Gelato. Siapa berikutnya yang mau menraktir aku?


#Catatan saat menikmati es krim cup pasaran lalu tersadar: mungkin aku sudah gila


HUTANG

Kamu berhutang penjelasan padaku
Kamu berhutang permohonan maaf
Kutagih sekarang
Bisa bayar?



Sky Garden, 21 May 2013



#Catatan saat bosan di kantor sementara di luar mendung

Sunday, May 19, 2013

PELUKNYA


Bertaburan airmata, aku berlari menyongsongnya.
Kutabrakkan tubuhku ke tubuhnya yang semerbak.
Tanganku kukalungkan erat di lehernya.
Aku makin terisak, dia membalas pelukku dengan lembut.

"Tuhan, rasanya sakit sekali." rengekku dalam sedu.

Dia mengelus rambutku lalu menepuk-tepuk punggungku.
Pelukannya semakin menguat dan aku secara magis merasa damai.




~Catatan saat menikmati keripik tempe, lalu sekelebat Tuhan lewat di pikiran. Dia berseru, "Ini tanggal 19 Mei, Jendral!~

Saturday, May 18, 2013

SELEPAS HUJAN


Siang selepas hujan, matahari perlahan mengeluarkan sinarnya lagi. Tidak menyengat, melainkan hangat. Tetes-tetes air yang tertinggal di pepucuk daun dan tepian atap tampak bening bercahaya. Wangi tanah basah membujuk, merayu, dan mencumbu. Mendadak aku merasa rindu. Rindu kepada kamu.

Bertelanjang kaki, aku berlari ke halaman. Aku rasakan tanah basah di telapak kakiku. Tanganku membawa sebuah botol kaca bening berukuran kecil. Berkeliling halaman aku kumpulkan wangi tanah ke dalam botol tadi. Wangi tanah yang khas terlihat meliuk-liuk terjebak dalam botol, berusaha membebaskan diri. Juga kuhampiri rimbun tanaman hias yang masih kuyup oleh air hujan. Kuteteskan beberapa titik air yang ada di ujung daunnya ke dalam botol. Sempurna. Sebotol parfum untukmu sudah sedia.

Wangi parfum racikanku diterbangkan angin yang berhembus ke tempatmu. Menyeberangi sebuah lautan demi sampai pada kamu. Berdirilah di tepian lautnya agar dia mudah menemukanmu. Aku bersumpah ini akan jadi wewangian yang paling kamu suka. Wangi yang bercampur rinduku.

~ ~ ~

Malam selepas hujan, udara sejuk, langit kembali membiru, bersih tanpa awan. Titik-titik bintang mulai bermunculan menghiasi langit yang syahdu. Bulan tampak manis berselonjor santai di antara hamparan gemintang kecil itu. Kuperhatikan kerlip-kerlip cantik dan ada satu yang tidak tahan hanya bergelantungan di atas sana. Satu bintang meluncur cepat mengarah bumi dan jatuh di halaman rumahku yang basah. Bergegas aku berlari ke halaman demi menjemputnya. Bintang itu menggelepar di tanah, senyum tampak menghiasi wajahnya yang gemerlapan. Aku pungut, kembali kuterbangkan. Kali ini menuju tempatmu.

Bintang kecil itu menyebar serpihan-serpihan cahayanya sepanjang jalan menuju kamu. Melintasi ratusan kilometer dari tempatku. Di menjadi petunjukku untuk menemukanmu. Berdirilah kamu di tepian pulaumu, tangkap bintang tadi agar bisa aku melihat ke mana jalanku. Aku mau memberimu rindu ini.

~ ~ ~

Aku termangu selepas hujan, mengkhayalkanmu dengan sebotol parfum dan satu bintang kecil. Seandainya aku tahu cara menemukanmu, pasti aku sekarang sudah bersamamu, tidak di sini sendiri. Jika kita memang tidak ditakdirkan untuk bertemu, aku tetap akan menunggumu penuh rindu bersama wangi tanah dan bintang selepas hujan. Yah, selepas hujan.


#Catatan saat gelap-gelapan sendiri di kamar karena pemadaman listrik

Thursday, May 16, 2013

Iseng: "Little Lyla"

Eh, ada yang baru di blogku ini! Apa ya? Duh, merhatiin ga sih? Hehehe... Yang punya blog pengen eksis terus yak?! Perubahan dikit aja pengen ada yang negur. Yah, maklumilah saya tidak pernah masuk tipi. Tipinya kaga muat walaupun saya mungil begini. Huss..Huss... Fokus! Jadi, apa yang baru di blog? Itu tuh... Nama profil ganti jadi Little Lyla. Trusss di samping Pisces Pieces juga ditambahkan Little Lyla. Kalian ga penasaran nih kok bisa Little Lyla? Ga?? Beneran?? Baiklah, kalau gitu aku jelasin aja. #Ga peduli

Jadiiii begini sodara-sodara... Waktu itu aku sempat nulis tentang temenku yang pecinta Oasis. Nih linknya ada di sini nih Temanku dan Oasis. Sehabis nulis itu, aku publish juga ke group chat anak-anak comel penggila karaoke di mana temanku itu menjadi penuanya (off the record: karena umur, maka dia secara tidak langsung, secara implisit, kami tunjuk sebagai penua. Ssstt...jangan bilang-bilang dia yah!). Dia reaksinya sungguh di luar dugaan sehabis baca tulisanku. Dia tampaknya senang tak alang kepalang. Sembari berterima kasih karena telah menjadikan dia inspirasi dalam tulisanku yang sesungguhnya ga berbobot sama sekali, dia berulang kali menyebutku "Little Lyla". Yah, aku tahu saya kecil mungil makanya dia bubuhkan kata "little". Tetapi, Lyla?? No idea at all! Ga tahu sama sekali!

Aku iseng. Terkadang keisenganku tidak mutu. Kali ini iseng mencari-cari apa sesungguhnya Little Lyla itu. Berhubung tulisanku untuk temanku itu ada sangkut pautnya dengan Oasis, maka aku bawa sajen ke Si Mbah Google yang maha tahu segala, menanyakan Oasis Little Lyla. Jebrettt... Benar saja! Si Mbah memberikanku banyak sekali pilihan Oasis dengan keyword atau kata kunci Lyla. Ternyata, itu adalah judul lagu dari Oasis. Bukan "Little Lyla", tapi cukup "Lyla" saja. Lagu ini merupakan salah satu lagu yang ada di album Oasis "Don't Believe The Truth" yang rilis pada 2005. Menurut si penulis lagu sekaligus yang menyanyikan, Noel Gallagher, lagu ini adalah sebuah "love song" dari seorang adiknya Sally yang bernama Lyla. Siapa lagi tuh Sally?? Bener mau tahu? Dengerin deh "Don't Look Back in Anger"-nya Oasis, maka kalian akan tahu Sally. Tapi, lebih penting lagi, kalian percaya sama omongan Noel?? Mending jangan! Dia suka ngomong seenak kentutnya. Ada hal menarik yang terjadi dengan lagu ini di salah satu konser Oasis. Kala itu, lagu ini dibawakan secara lipsync oleh Liam Gallagher. Tapiiiii, biasalah Liam suka ga akur sama Noel, Liam malah menjauh dari microphone dan menutup mulutnya rapat-rapat saat lagu sedang terputar. Entah berantem apa lagi kakak-adik itu. Ckckckck. By the way, just leave Noel and Liam alone, lanjut aja simak ceritaku.

Aku makin iseng deh, penasaran sama lagunya. Therefore, aku sedot MP3-nya! Hahaha... modal ilegal! Ga malu kok, toh juga kalian begitu. Ya kan?? #a la Syahrini. Anyway, setelah sedotan ilegal tadi berhasil, tanpa nunggu besok, langsung kudengarkan. Musiknya menghentak-hentak, lalu suara si songong Noel Gallagher terdengar melantunkan lirik-lirik yang membuatku merasa: Dia menyanyi untukku, lagu ini tentang aku! Terutama dalam lirik "She believes in everything and everyone and you and yours and mine" Aku mengangguk-angguk sendiri, ya aku percaya pada semuanya, tanpa sedikitpun pernah curiga, tanpa sekalipun pernah takut kepercayaan itu akan disia-siakan. Ya, lagu ini aku. Lyla itu aku.

Semenjak merasa sedarah dengan lagu itu, aku memutuskan untuk mematenkannya. Bingung juga sih mau gimana dan di mana biar orang-orang tahu. #Lagi-lagi modus untuk eksis. Setelah melihat-lihat blog, berusaha membangkitkan inspirasi menulis yang tidak kunjung tiba, walaupun di kepala banyak sekali ide tulisan, tanganku malah bergerak untuk mengedit profil. Klik klik klik. Nama profil terganti. Klik klik klik. Judul blog teredit. Sekian.

Demikianlah tulisan iseng dan tidak penting dariku. Jika ada yang merasa keberatan dan tidak terima dengan tulisan ini, hayuk kita duel! Berani kau??

Hehehe...Peace out!

 

xxx
Little Lyla



#Catatan iseng saat inspirasi mandeg, harap maklum kalau tidak seru.



Saturday, May 11, 2013

AKHIR KITA


Sekian lama kita bersama...

Tunggu! Aku bisa menghitung sudah berapa lama kita bersama. Satu tahun empat bulan duapuluh tujuh hari. Ya, selama itu. Jangka waktu enambelas bulan duapuluh tujuh hari itu bisa dikatakan cukup matang untuk sebuah hubungan romantis, seperti hubungan kita. Tetapi, sangat disayangkan, kita tidak mendewasa seiring waktu tersebut. Semakin hari kita semakin nampak berbeda. Terlepas dari segala perbedaan nyata yang telah kita usung sejak awal, perbedaan visi misi beriringan bertumbuh selama perjalanan panjang kita. Kita mencoba bersabar, kita berusaha memberikan toleransi dan berusaha beradaptasi. Apa daya, segala kebalikan itu semakin tersurat jelas.

"Jadi, apa keputusanmu?" tanyaku padamu yang terdiam dengan wajah geram. Emosi dan ego itu masih kurasakan juga menggelegak dalam diriku setelah kita saling meneriaki, ingin menang sedangkan salah satu di antara kita harus mengalah-suatu hal yang tak mungkin.

"Aku benci kamu!" desismu. "Kamu terlalu idealis. Kamu kaku!"

"Oh, dengar dirimu sendiri! Segala tindakanmu malah sangat menyakitiku dan kamu pura-pura tidak tahu!" rutukku. Ini akan terjadi lagi. Teriakan akan dimulai lagi. Aku sudah lelah berteriak-teriak hanya agar kamu mendengar. "Kalau kamu tidak bisa mengambil keputusan, biar aku saja. Aku pergi. Kamu nanti akan sadar, memang ada yang lebih baik dibanding aku. Aku pergi dan tidak akan kembali,"

Aku seret kakiku ke luar ruangan. Aku tidak mau menoleh lagi. Jika kulakukan, aku yakin aku akan tinggal lebih lama di sisimu dan akan terulang lagi semua pekikan keras kepala itu. Aku akan menghilang untuk selamanya dari kehidupanmu. Airmata ini menderas bagai hujan.

Aku masih sangat mencintaimu.



#Sekali lagi catatan acak saat mendengar Frau-Mesin Penenun Hujan

INSPIRASIKU (TIDAK LAGI)



Ternyata
Inspirasiku banci
Kujampi-jampi mati
Berhenti jadi mimpi
Pensiun dari imaji


Monday, May 6, 2013

Alkisah Sebuah Mimpi

Pernah mimpi kalian jadi nyata? Bukan mimpi-mimpi yang kalian susun ketika kalian sepenuhnya sadar. Tetapi, mimpi-mimpi yang datang ketika kalian terlelap dalam tidur. Aku pernah.

Waktu itu, 27 April 2013, aku tertidur pulas setelah seharian dilelahkan oleh pekerjaan. Aku pun bermimpi bertemu dengan seseorang yang aku cintai. Dia lelaki yang selalu kuinginkan dari awal perkenalan kami. Di dalam mimpi itu, aku menyapanya, berbincang, dan membuat lelucon-lelucon seperti yang biasa aku lakukan padanya. Keanehan mulai terasa saat dia tidak menggubris satu pun celotehanku. Dia bahkan membuang muka, tidak mau memandangku. Aku tentu saja sangat sedih. Aku bertanya-tanya mengapa dan mulai mencercanya dengan rasa penasaranku. Mengapa? Mengapa? Mengapa? Terus kulesaki dia dengan tanya itu. Dia bersikukuh. Enggan menoleh, enggan menjawab. Hingga aku menuliskannya sebuah puisi singkat:

Kembalilah padaku walau habis waktu
Aku mencintaimu terlalu
 
Bisa kalian bayangkan? Bahkan dalam mimpi pun aku sanggup menjadi seorang pujangga. Betapa gila. Ah, mari kita lanjut berbicara tentang mimpiku. Dia luluh dengan puisi itu? Dia tersenyum? Dia tertawa? Dia mengucapkan sesuatu? TIDAK. Dia tetap saja berlalu tanpa mengusikku sama sekali. Di situ mimpiku menemui akhir.

Esoknya, kuceritakan mimpi itu pada dia. Alur mimpi yang kuceritakan tidak lengkap karena perbincangan kami sangat terburu-buru dan tidak mesra seperti biasanya. Aku lupa alasan kami memutuskan untuk berhenti berbincang dengan cepat. Aku tentu saja tidak terlalu menganggap mimpi itu. Bagiku, mimpi adalah bunga tidur yang tidak bisa mekar. Begitu juga dia karena aku sangat bisa merasakan dia tidak tertarik pada cerita mimpiku.

Hanya saja, ketika mimpi itu benar-benar hampir kulupakan, kejadian persis di mimpi terjadi. Dia sama sekali berhenti mengacuhkan keberadaanku. Hari terakhir kami berkomunikasi, kami masih baik-baik saja. Bertukar kabar, berbagi tawa, saling mengecup. Hari selanjutnya, dia tidak ada kabar. Berbagai upaya aku lakukan demi mendapat sedikit saja berita darinya, tapi nihil. Aku masih bisa bersabar.

Kucoba lagi pada hari berikutnya. Aku dalam keadaan demam tinggi dan batuk tiada henti. Aku mau diperhatikan, aku mau dia bertanya, aku mau dia mengatur seperti biasanya. Aku kangen. Nihil. Luapan emosi aku tumpahkan di sebuah surat elektronik yang kualamatkan padanya. Rengekanku, omelanku, dan amarahku terbaca jelas di sana. Sesungguhnya, aku hanya mau diperhatikan. Cukup.

Mungkin dia membaca surel itu. Mungkin interpretasinya tidak sesuai dengan keinginanku. Dia semakin tidak menggubrisku. Aku tetap berusaha meraihnya kembali dengan berbagai cara: sms, telepon, juga puisi. Hingga detik ini, detik kutuliskan ini, dia tetap berteguh hati tidak menghubungiku, enggan menjawab semua upayaku. Benteng pertahananku roboh oleh angkuh defensinya. Aku hanyut dalam tangis yang tak berkesudahan. Aku sudah kehilangan.


Kepada kamu, entah kini aku harus melepasmu atau tetap menggenggam tanganmu yang maya. Aku habis kata dan tiada lagi berdaya.



#Catatan dalam ketidakpastian sambil terbatuk-batuk

Aku dan Tembok


Berapa kali?

Kuajukan pertanyaan itu berkali-kali pada tembok di depanku. Tentu saja sepi jawaban. Tembok berdiam diri, tidak mengerti maksud pertanyaanku.

Berapa kali aku harus merelakannya? Semenjak mengenal sosoknya, ini sudah yang ketiga kali aku harus melepas dia. Pertama, saat dia tiba-tiba secara ajaib menghilang dari jangkauan radarku. Aku berupaya menemukannya kembali hingga aku berpasrah akibat lelah. Kedua, saat dia telah kutemukan, lagi-lagi harus aku merelakan dia melenggang ke sebuah tempat teduh bernama pelaminan. Ketiga sekaligus terbaru, lagi-lagi dia dengan keajaiban menghilangkan diri. Aku bingung, pun linglung.

Kali ini kenapa? Mungkin salahku. Tapi, aku pun tidak menemukan apa. Mungkin karena aku terlalu emosi akibat dia yang tidak menjawab teleponku. Mungkin aku yang terlalu menuntut. Mungkin aku yang terlalu mementingkan diri. Mungkin aku yang tidak peduli. Mungkin aku yang tidak mau mengerti. Mungkin hanya egoku, aku.

Jadi, harus berapa kali?

Tembok itu bisu.


Saturday, May 4, 2013

BIRU


Biru
Netraku
Nafasku
Suaraku
Runguku
Rasaku
Tubuhku
Hatiku

Kau berhenti ada
Tetap kususun kata tanya




#Feeling blue now everyday since you're gone

Thursday, May 2, 2013

Balada Meja Makan


Meja makan dengan taplak bermotif bunga itu senantiasa bersabar. Ada aku di belakangnya, duduk di atas kursi. Juga lelaki itu di hadapanku. Meja itu bersabar menunggu denting-denting piring, sendok dan garpu. Meja itu bersabar menunggu kami makan sambil mengobrol. Sudah hampir seminggu ini kejadiannya tetap sama. Aku dan dia duduk berhadap-hadapan, di kursi masing-masing, tanpa membalikkan piring, tanpa menyendok nasi, mengambil lauk, dan lebih parah tanpa berbicara satu sama lain.Untung saja meja itu tidak bosan.

Aku pandangi wajah datar lelaki itu yang membuang muka ke arah jendela seakan tirainya yang senada dengan taplak meja jauh lebih menarik. Aku tetap memandanginya tanpa pernah mau memulai pembicaraan karena aku lelah menjadi pengalah. Setiap kali ada permasalahan, selalu aku yang memulai mengungkap dan meminta maaf meski dunia dan akhirat tahu benar itu bukan salahku. Aku rasa itu membuatnya menjadi angkuh. Kerendahan hatiku dianggapnya sebagai kerendahan diriku sendiri. Kali ini aku tidak bisa terima. Jadi, aku berdiam diri saja. Aku menunggu dia yang menungguku di hadapan meja yang juga menunggu kami.

Biasanya, dia akan bangkit berdiri lalu pergi setelah menunggu selama limabelas menit. Dia akan pergi ke luar rumah, entah ke mana dengan motornya. Tengah malam menjelang subuh dia kembali, berusaha membuka pintu kamar yang aku kunci dari dalam. Kubiarkan saja. Pagi-pagi ketika akan berangkat kerja, aku akan mendapatinya tidur di sofa di depan televisi. Aku tidak membangunkannya dan langsung saja pergi. 

Kulihat dia mengalihkan pandangannya. Inilah saat dia untuk bangkit. Benar saja, dia menggeser kursi dan mengambil ancang-ancang untuk berdiri. Gerak refleksku di luar dugaan. Aku melempar sendok ke arahnya dengan geram. Dia yang tak menyangka tampak terkejut dan memandangku dengan wajah tak percaya. Lanjut aku melempar nasi, lauk, sayur, gelas, piring, garpu dan terakhir mengobrak-abrik taplak meja.

"Pergi," ujarku pelan dan dingin. Aku sendiri tidak menyangka akan suaraku yang terdengar tenang tapi tajam. "Pergilah lagi seperti pengecut yang cundang. Pergilah kali ini jauh dan jangan kembali, tetap seperti pengecut yang cundang. Pergi. Cari kebahagiaanmu sendiri yang bisa kamu temukan di luar sana. Pergi. Kebahagiaan dan kebebasanmu bukan di sini bersamaku. Pergi. Tinggalkan aku yang hanya bisa membelenggu," lanjutku tetap datar. Aku sudah lelah.

Tiba-tiba dia meluruh dalam tangis. Kesabaran meja makan itu terbalas akhirnya. Itulah saat-saat yang paling dinantikannya selama seminggu ini: kami kembali menjadi manusia yang tiada sempurna.



#Catatan acak saat mendengarkan Endah n Rhesa menyanyikan "Pergi" dari Andezz