Pagi itu saya berangkat ke kantor seperti biasa: berjalan kaki dari kos, mampir di warung untuk membeli roti, lalu membeli jus buah di warung lain yang jaraknya tidak jauh dari warung roti, dan meneruskan perjalanan ke kantor yang jaraknya hanya sepuluh menit. Di gang menuju kantor, seorang staf vila menghentikan laju motornya di sisi saya. Si staf tidak berkata apapun, saya malas berbasa-basi, saya langsung loncat ke kursi penumpang dan dia kembali melajukan kendaraannya.Memasuki area kantor, para petugas security sibuk bersuit-suit menggoda saya yang saya balas dengan kiss bye. Staf vila menurunkan saya tepat di area presensi finger print dan check clock. Seperti biasa, saya kesulitan melakukan finger print dan check clock. Berulang kali mesin finger print berkata "Please try again" dan mesin check clock memuntahkan kembali kartu presensiku. Gemas, saya berhenti berusaha dan langsung berlari ke lantai atas. Selain karena waktu yang memburu, nyamuk-nyamuk di area presensi juga beraksi zombie. Sesampainya di ruangan, setelah menyimpan jus di kulkas, betapa terkejutnya saya mendapati sebuah dompet hitam dengan aksen satu bunga mawar timbul di salah satu sudutnya tergeletak manis di meja kerja. Saya tahu pemilik dompet itu: seorang bule wanita tua dari Los Angeles. Itu kesayangannya. Ada catatan di sebuah kertas yang ditempel di dompet itu: "For Dewi". Maklum, orang asing di kantorku tidak ada yang bisa menyebut "Dwi". Di dalam dompet itu terdapat sebuah kertas dengan tulisan tangan
Dewi,
Thank you for your help in getting me a plane ticket home. You and Sean really saved me. See you very soon.
Love,
Debbie
Saya tersenyum membaca isi catatan tersebut. Saya bahagia sekali karena saya bisa merasakan ketulusan Debbie berterima kasih dengan cara yang paling sederhana. Saya menyimpan dompet itu ke dalam tas. Tak lupa saya masukkan juga catatan Debbie tadi. Sepanjang hari saya tersenyum, tidak peduli Sean (atasan saya) memfak-fak para supervisor dan manajer yang sedang laporan harian. Meski sesekali dia memanggil saya dengan nada grumpy, saya selalu menghadap dengan senyum bahagia di wajah.
***
Masih adegan di kantor di hari lain. Kebiasaan pagi saya seusai membersihkan meja bos dan mengawasi staf membersihkan ruangan bos, ruanganku dan ruangan arsitek, adalah mengecek "laporan kehilangan dan ditemukan" atau bahasa Inggrisnya "Lost and Found Reports". Bule itu terkadang suka melakukan hal-hal konyol jika sudah mabuk, terkadang suka meninggalkan tas, dompet, handphone, kartu kredit/debit, kunci hotel, kunci motor, kacamata, jam tangan, dan lain sebagainya. Pagi itu, laporan penemuannya cukup mengejutkan yaitu sebuah paspor. Saya cek nama dan kewarganegaraan pemilik paspor tersebut: seorang wanita muda usia 20an dari Brasil bernama Luiza. Hal pertama yang saya lakukan adalah mengirim surat elektronik ke kedutaan Brasil di Denpasar untuk menginformasikan bahwa paspor salah seorang warga negaranya tertinggal di klub tempat saya bekerja dan kini aman bersama saya, juga saya meminta mereka untuk menginformasikan kepada Luiza. Beruntung, pihak kedutaan merespon cepat dengan mengkonfirmasi bahwa mereka telah menghubungi Luiza. Tidak berselang lama, Luiza menelepon saya dan dia berseru-seru gembira mengetahui bahwa paspornya baik-baik saja.
Keesokan harinya, Luiza datang ke ruangan saya dengan wajah bingung karena dia melihat banyak orang di ruangan dan dia belum tahu saya. Dia pun bertanya, "Which one of you guys named Dewi?" Langsung saya berseru, "Luiza!" Wajah Luiza langsung drastis berubah dari bingung ke lega. Dia terharu sekali dan langsung berlari ke arah saya, spontan memeluk saya erat.
"Thank you so much, Dewi. I don't know what to say. I was so confused when I realized I lost my passport. I didn't enjoy my day, but now I can breathe. Oh my god. Thank you so much. Thanks a lot," ucapnya sambil tidak melepas pelukan.
Saya yang melepas pelukannya sembari berkata, "It's ok. I'm just doing my job. Anyway, next time please be careful. Passport is the life of travelers like you."
Hari itu, Luiza bisa kembali menikmati liburannya. Saya pun bahagia karena kini Luiza bisa tenang dan melenggang gembira.
***
Hal-hal seperti cerita saya di atas selalu membuat saya berpikir bahwa kebahagian itu tidak usah dikejar hingga ke ujung dunia. Dijamin tidak akan ketemu. Dunia tidak berujung karena Bumi bulat. Kebahagiaan itu tidak terletak pada barang-barang mewah nan mahal yang justru membuat kocek kita menipis. Kebahagiaan itu bukan emas, intan, atau permata.
Kebahagiaan saya tercipta dari hal-hal kecil yang mungkin akan selalu terlewat oleh pengawasan pikiran dan hati. Kebahagiaan saya sama sekali bukan saja tentang saya. Kebahagiaan itu tidak melulu persoalan materi. Kebahagiaan bisa mengambil berbagai rupa dan seringkali hal-hal minor yang bisa membuat kita merasa benar-benar bahagia. Kebahagiaan itu bisa saja berupa sapaan pagi hari dari para sahabat lewat aplikasi di handphone pintar. Kebahagiaan itu mungkin berupa tanaman bunga peliharaan kalian berbunga untuk pertama kali. Kebahagiaan bisa berupa berita bahwa teman kita mendapat beasiswa untuk meneruskan sekolah di luar negeri. Kebahagiaan bisa berbentuk sebuah foto kiriman kakak atau adik kita yang menunjukkan mereka sedang menikmati liburan. Kebahagiaan itu ada dalam diri sendiri. Sederhana saja.
Jadi, berbahagialah akan segala hal di sekeliling kita, bahkan ketika kita terpuruk karena sekali lagi, kebahagiaan tidak selalu harus tentang diri sendiri.
Cheer up and chin up!
#Catatan sambil terbahak-bahak menonton The Comment.