Friday, February 12, 2016

Debt Collector

Percayakah kalian jika sejak bulan Oktober 2015 hingga tulisan ini diturunkan saya bekerja paruh waktu sebagai debt collector alias penagih hutang? How come?

Ya, awalnya saya resign dari hotel tempat saya bekerja sebagai HR Coordinator karena sudah muak dengan orang-orang di sana. Kemudian saya melihat di salah satu harian para ekspat mengenai lowongan itu. Tidak disebutkan pekerjaannya apa, yang membuat saya tertarik adalah jam bekerja dan gajinya. Saya pun melamar dan diterima. Ternyata pekerjaannya adalah sebagai penagih hutang. Menyesal? Tidak. Saya malah girang!

Pekerjaannya mudah. Saya cukup menelepon beberapa nomor telepon debtor yang telah ada di sistem. Jika tersambung dengan mailbox, saya tinggalkan pesan. Jika langsung dijawab oleh debtor, saya akan informasikan bahwa Case Manager ingin berbicara dengannya, lalu saya transfer teleponnya. Jika salah sambung atau semua nomor debtor tidak aktif, saya ganti status debtor menjadi skip account. That's it.

Berikut pesan yang saya tinggalkan jika saya terhubung dengan mailbox:

"This message is for (nama debtor), my name is Lucy Smith, calling you in regards to a legal matter pertaining to a summon that has been filed against you. Details pertaining to your case can be obtained by contacting our office at 1 844 264 8035 with your case number (sebutkan case number debtor). Please resolve this issue and stop this summon. Thank you."

Berikut kalimat yang saya ucapkan pada debtor jika dijawab langsung oleh debtor:

"Hi, Sir/Ma'am. My name is Lucy Smith, I'm with A&D Group, calling you in regards to a legal matter. Right now our case manager would like to speak with you, would you please hold while I transfer the call?"

Ya, dalam bahasa Inggris karena database yang saya kerjakan adalah di Amerika Serikat. Saya harus menjadi Lucy Smith dan aksen saya harus terdengar seperti orang Amerika. Terkadang para debtor yang saya hubungi suka mengaku itu bukan dia dan langsung mengatakan salah sambung. Terkadang mereka mengamuk karena telah dihubungi berkali-kali dan mencari orang yang salah. Terkadang mereka mengaku sibuk dan meminta saya untuk meninggalkan pesan saja. Terkadang debtor yang saya cari sudah meninggal dunia.

Pekerjaan ini seru. Santai dan menyenangkan. Satu tantangannya adalah menahan kantuk karena jam kerja dari jam 9 malam sampai jam 2 dini hari.

Sayangnya, pekerjaan yang sangat saya sukai ini harus segera diakhiri. Tim kami yang berperan sebagai case manager mengaku sudah tidak punya account debtor baru. Sementara account debtor lama sudah berulang kali di recycle. Saya pun sedih.

Malam ini, 12 Februari 2016, akan menjadi malam terakhir saya di kantor yang sangat dinamis ini. Saya sedih luar biasa karena harus kehilangan penghasilan yang lumayan. Anyway, bye Boss Kevin and everyone!

Thursday, February 11, 2016

Belajar Antri (Lagi)

Saya adalah orang yang paling tidak senang membalap antrian orang, apalagi dibalap. Entah itu antri di ATM, di kasir, di bank, di pembagian sembako, dan lain-lain. Saya akan menjadi sangat sewot ketika antrian saya diterobos. Judes saya akan keluar tanpa memperhatikan sekitar, tanpa takut menjadi objek penilaian orang, tanpa takut harga diri terluka.

Seperti kejadian hari Minggu, 7 Februari 2016 lalu. Saya sedang antri di kasir sebuah toko baju di kota kelahiran saya. Suasana di toko itu hiruk pikuk, penuh sesak oleh pelanggan yang berdatangan dengan keluarga atau teman untuk mencari pakaian Galungan seperti kebaya, baju safari, kamen, selendang, dan sebagainya. Antrian di kasir pun tak ayal sangat panjang oleh banyaknya pembeli. Saya sedang menggendong anak saya, sementara suami berdiri di samping saya. Tiba-tiba seorang perempuan menyelonong masuk ke dua antrian di depan saya. Kondisi toko yang pengap dan gerah, ditambah ada perempuan berpakaian kekinian menyelonong makin membuat saya terbakar emosi.

"Loh, mbak-nya ini kok motong antrian??" protes saya keras ke perempuan tersebut dalam bahasa Bali. Si mbak merasa bukan dia yang ditegur. Dia malah menengok kiri-kanannya untuk mencari orang yang salah. Dengan geram, saya mentowel kasar lengannya dengan hanger baju yang sedang saya pegang.

"Elu!!!" aku nyolot. Logat ke-Jakarta-anku keluar. Si mbak dengan kikuk menggaruk kepalanya yang kuyakini tak gatal lalu bergegas ke antrian semestinya. Mataku melotot mengikuti tiap langkahnya. Dalam hati, aku mengumpat dalam English, yang syukurnya tidak keluar menjadi verbal bullying yang lebih keras. "Get you ass back to the end of this fucking line, biatch!"

Yah, begitulah.