Di dalam taksi yang meluncur perlahan membelah malam menuju Jl. Raya Seminyak ini, aku gelisah. Tanganku basah oleh keringat meskipun AC di dalam taksi ini menyala. Aku mencoba mengalihkan pikiran ke ruas jalan yang macet. Lama-lama Bali akan seperti Jakarta. Ini baru sampai di Jl. Imam Bonjol, namun kendaraan sudah memadati ruas jalan. Motor-motor meliuk sesukanya, membalap kiri-kanan untuk sampai di tempat tujuan lebih cepat. Terkadang agak memaksa dan membahayakan. Mobil-mobil juga tidak mau mengalah, memotong jalan seenaknya tanpa memikirkan badan mobilnya yang melintang sama dengan empat motor dijajar menghalangi kendaraan lain. Bule dan orang lokal sama saja, mengklakson bahkan meneriaki kendaraan-kendaraan yang menghambat mereka tanpa peduli siapa di pihak benar dan salah. Kemacetan itu, klakson-klakson itu, selipan motor dan lintangan mobil di jalan itu tidak mampu menghalangi kegelisahan yang telah menemukanku. Kini rasa gelisah ini memelukku erat. Aku sampai menggigit bibir bawahku karenanya. Mengapa aku mesti gelisah begini? Sudah sering kulakukan perjalanan dari Denpasar ke Kuta atau Seminyak untuk menemui kawan-kawan mancanegara yang datang berlibur. Menemani mereka surfing di Double Six atau hanya sekedar berjemur di sana menikmati Bintang. Menemani mereka menggila di Sky Garden atau hanya duduk menikmati musik di Apache dan kadang setengah mabuk menangis di Ground Zero untuk korban-korban Bom Bali yang tidak kami kenal. Perjalanan ini juga sudah sering kulakukan untuk dia.
Ya, dia. Seorang lelaki yang sudah kukenal semasa kanak. Seorang lelaki yang kemudian menjelajah dunia dari satu beasiswa ke beasiswa lainnya. Hausnya akan ilmu tidak pernah terpuaskan. Masa liburan selalu dia datang ke sini, ke Bali. Datang, bukan pulang. Tidak ada tempat yang bisa menjadi rumah untuknya. Bukan salah tempat-tempat itu, tapi memang dia yang enggan terikat. Ah, kenangan akan dia yang selalu kutemui di restoran Zanzibar atau Blue Ocean atau Lanai atau Warung Made atau Bubba Gump atau dimanapun dia memintaku menemuinya menambah gelisahku. Sudah rutin enam hari ini aku menemuinya. Tentu saja atas permintaannya. Ini hari ketujuh. Seharusnya jadi hari terakhir, seperti yang dijanjikannya. Enam hari kemarin kami selalu melakukan hal yang sama. Sama persis tiap malamnya, tanpa ada yang terlewat. Enam hari yang lalu aku tidak gelisah saat melakukan ini semua. Ah, kenapa?
"Ryoshi, Mbak." Suara sopir taksi yang kutumpangi memecah lamunanku. Aku terdiam sejenak sebelum membayar argo dan turun dari taksi untuk mengumpulkan nyawa yang berserakan di khayal-khayalku. Di depan restauran Jepang itu aku berdiri. Jantungku berdegup keras saat kulangkahkan kaki memasuki lantai satu restoran tersebut. Aku harus segera menuju lantai dua, tempat aku berjanji bertemu dengannya. Lantai dua Ryoshi selalu ada live band music. Band-band indie local maupun mancanegara, kebanyakan beraliran jazz dan blues, kadang ada juga rock band. Dulu aku bertemu pertama kali dengan temanku bernama Duncan, seorang pemain steel drum beraliran jazz di sini. Duncan kukuh bilang steel drum sementara aku bilang steel frying pan karena alatnya itu memang mirip penggorengan martabak. Oke, lupakan si Prancis pelit Duncan. Fokus mencari sosok sahabatku. Dia duduk di salah satu tempat duduk lesehan depan panggung kecil. Dia melambai padaku saat dia melihatku. Berusaha keras aku tersenyum saat menghampirinya.
"Ayo, duduk. Pesan langsung ya? Edamame? Kesukaanmu, kan? Dua porsi sekaligus, oke?" cerocosnya begitu aku duduk bersimpuh. Live band sekarang adalah band rock. Penyanyinya seorang wanita Indonesia yang cantik dan eksotis. Suaranya dahsyat. Namanya Marina, kutahu.
"Minum cha? Spider Maki?" lanjutnya sementara aku sibuk menenangkan diri dengan mendengar suara serak seksi Marina. Aku hanya tersenyum. Dia lanjut memesan.
"Kamu diam sekali hari ini. Kenapa?" selidiknya.
"Hanya capek. Apa kabar hari ini?" tanyaku menyembunyikan kegelisahan.
"Baik, seperti kemarin. I'm really excited."
"Iya, tentu saja kamu bersemangat. Bersemangat untuk besok," kerlingku padanya. Ah, cepat sekali aku menguasai diri.
"Hahahahaha. Entahlah. Aku harus berterima kasih padamu jika besok semua berjalan lancar," gelaknya. Obrolan kami berlanjut. Obrolan ringan yang disisipi tawa. Dia pandai membuat lelucon. Sesekali Marina mengajak pengunjung menyanyi bersama. Kami ikut menyanyi kalau kami tahu lagunya.
"Ride, Sally ride. Wipe your weeping eyes. Ride, Sally ride..." gemuruh pengunjung saat lagu Al Green dinyanyikan. Sahabatku itu terbahak melihatku yang dengan semangat menyerukan lirik ride Sally ride.
"Kenapa? Aku salah lirik?" protesku. Dia hanya menggeleng dan tetap terkikik-kikik.
"Bukan, bukan itu. Hahaha. Aku heran kenapa kamu tahu lagu itu. Aku saja tidak tahu. Lagu tahun berapa itu?" sindirnya.
"Al Green! Kamu tidak tahu Al Green? Penyanyi soul dari Amerika! Dia itu keren! Ride, Sally Ride jadi bonus track di albumnya Gets Next to You tahun 1971. Kamu tidak tahu?" ucapku kaget.
"Hey, aku mendengarkan musik 90-an karena musik kita ada di zaman itu. Tahun 1971 bahkan kamu masih belum dipikirkan untuk dilahirkan. Hahaha," kilahnya.
"Ya, 90-an macam NSync dan Westlife. Itu favoritmu, kan?" godaku.
"Nope! Well, 90's was the year of boybands of course but no. They're not my favorites."
"Lalu siapa? Red Hot Chili Peppers, Radiohead, U2, REM, Foo Fighters, Smashing Pumpkins?"
"Exactly! Exactly! Don't forget Oasis! The best Britpop ever, bahkan Coldplay bukan apa-apa dibanding Oasis!" serunya senang.
"Hah!" komentarku pendek. Aku sangat tidak menyukai band Inggris itu. Bukan karena musiknya melainkan karena Gallagher klan.
Lelaki itu menunjukkan wajah senang. Dia tahu dia menang telak. Dia tahu aku tak mau membahas lebih lama tentang Oasis.
"Ok then. We have finished our dinner. Now it's time!" ucapnya sambil menyingkirkan piring dan gelas dari hadapan kami ke pinggir meja. Aku menarik nafas dalam. Kegelisahan ini entah kenapa belum pergi juga.
"Wajahmu jangan tegang begitu. Kita sudah melatih ini berkali-kali di tempat yang berbeda-beda," katanya sebelum beranjak ke panggung tempat tadi Marina menyanyi.
Dia naik ke atas panggung, mengambil mikrofon dan berdiri tegak di sana. Matanya menatap lembut lurus tepat ke mataku. Serentak pengunjung riuh bertepuk tangan dan ada yang iseng bersuit-suit.
"Sorry, guys. I have to ruin your night here. I have to take this stage from you, Marina. But, hey, thanks to you guys who let me to have this moment of my life. When I get off this stage, you may murder me. Hahaha," ucapnya di atas panggung dengan gaya sok. Pengunjung bergemuruh bertepuk tangan. Marina mengangkat gelas minumnya sambil tersenyum manis. Cepatlah, bodoh! umpatku.
"Today is gonna be the day that they're gonna throw it back to you. But now you should've somehow realised what you gotta do. I don't believe that anybody feels the way I do about you now," Dia mulai menyanyi dengan suara yang dibagus-baguskan. Aku kaget dia memilih menyanyikan lagu Oasis. Dia turun dari panggung, bernyanyi menuju arahku, menghampiri aku yang duduk kaku seperti sebatang pohon.
"There are many things that I would like to say to you, but I don't know how..." Dia kini tepat berdiri di hadapanku. Berhenti di lirik itu lalu berseru, "Guys, you see this beautiful woman in front of me. She's my best friend since I was like 8 or 9, I can't tell. She's always there for me when I want her to be there. She always has her time for me. She always gives me shoulders to lean on. She never refuses when I ask for her help. She always says yes. Now, I hope she can say 'Yes' too when I ask her for one more thing," dia merogoh saku celananya, mengeluarkan kotak berbahan suede berwarna kuning terang, membuka kotak itu sembari berlutut.
"Will you marry me?" dia menatapku penuh harap. Aku tidak mengerti. Selama enam hari ini aku memang menemui dia untuk membantunya berlatih mengucapkan kata-kata lamaran pada kekasih hatinya dengan aku berpura-pura menjadi wanita beruntung itu. Sengaja dia pilih suasana makan malam romantis agar lebih nyata. Selama enam hari terakhir yang dia lakukan payah. Tidak pernah mulus. Aku sampai harus terus-menerus mengarahkan dia. Ini harusnya begini, itu ke sana, kamu bilang begini, kalau dia begitu kamu katakan seperti ini, blahblahblah. Dia tidak pernah menguasai semua ilmu yang kuajarkan.
Hari ketujuh ini harusnya jadi hari terakhir dia berlatih karena besok dia harus sudah melamar sang kekasih hati sebelum gadis itu terbang ke Singapura untuk bekerja. Tetapi, aku tidak mengerti. Semua yang dilakukannya di luar skenario yang kubuat. Seharusnya dia tidak menyanyi, seharusnya kata-kata yang diucapkannya bukan itu, seharusnya kotak cincin itu berwarna merah muda, seharusnya cincin di dalam kotak itu polos tanpa berlian, seharusnya yang dia lamar bukan aku. Aku tersentak. Aku? Aku? Hah?
"Say yes! Yes! Yes! Yes!" gemuruh pengunjung Ryoshi ditingkahi tepuk tangan. Koor dadakan itu membuat aku tersadar apa yang sedang terjadi. Dia masih berlutut dengan cincin berlian putih berkilau. Dia melamarku. Ya, aku. Tiba-tiba suara tak ada. Semua menunggu aku berkata.
"Wonderwall?" entah kenapa dari ribuan kata yang bisa kuucap, tiba-tiba hanya Wonderwall yang meluncur mulus dari mulutku. Serentak penonton yang hening meledak dalam tawa. Wajah sahabatku memerah, namun dia tertawa juga.
"Iya, Wonderwall. Oasis. Dirilis 30 Oktober 1995 dari album "(What's the Story) Morning Glory?". Bercerita tentang seseorang yang datang dan menyelamatkan hidupmu," jelasnya seolah aku tidak tahu.
"Aku tidak suka Oasis," desisku. Bisa kurasakan wajahku memucat.
"Aku tahu itu bukan lagu yang ideal untuk melamar. Terlebih kamu benci Gallagher bersaudara. Tapi, melihat kamu tadi di ujung tangga sana, dengan wajah gelisah, aku tahu apa yang harus aku lakukan. Entah apa yang menutupi mataku selama ini sehingga tidak melihat malaikat yang selalu ada untukku. Aku malah sibuk mengejar gadis lain yang membuatku bersusah payah transit di Singapura demi menyatakan cinta. Meminta bantuanmu untuk menjelajah dia ada di mana. Lalu mengejar dia ke Jakarta, mengemis cintanya. Tetap dengan bantuanmu mencari rumahnya. Lalu, dan sekali lagi menemui kamu untuk membantuku. Enam hari kemarin aku masih tidak tahu apa yang kuinginkan. Now I do. Apapun yang aku butuhkan ada di kamu. Kamu rumahku, tempat ke mana aku selalu ingin pulang. Sedari dulu." Aku tidak menyahut. "Kakiku kram. Cepat katakanlah sesuatu. Kalau kamu sebenarnya ingin mengatakan 'tidak', sekali lagi kamu bantu aku dengan berpura-pura mengatakan 'ya' biar aku tidak malu," bisiknya dengan ringisan. Kakinya pasti sekarang kesemutan.
"Hahahahahahaha," aku meledak dalam tawa mendengar dia berbisik seperti itu. Para turis di Ryoshi heran. Aku bangkit dari dudukku sembari kubantu dia berdiri. "Guys, he wants me to pretend to say 'yes' to save his butt!" pekikku. Orang-orang kembali tertawa dan berhuhu panjang. Kelakuanku membuat wajahnya makin memerah. Aku berdiri di hadapannya. Menatapnya dalam-dalam. Kegelisahanku raib dengan gaibnya. Kegelisahanku meninggalkan jawaban: aku gelisah karena aku tidak pernah rela dia melamar gadis itu. Aku tersenyum dan dengan lembut kukecup bibirnya. Ini hari ketujuh. Hari terakhir seperti yang direncanakannya.
"Yes," ucapku mantap. " That's not a pretence. I totally mean it. Yes, I will."
Ryoshi kembali bergemuruh sementara dia berjingkrak-jingkrak berlari ke atas panggung dan menyanyi, "There are many things that I would like to say to you, but I don't know how. Because maybe you're gonna be the one that saves me. And afterall, you're my wonderwall."
~MabukOasis~