Saturday, August 17, 2013

Hari Merdeka


Kita bersama tahu bahwa 17 Agustus adalah hari kemerdekaan negara kita yang tercinta: Indonesia. Tahun 2013 ini tepat 68 tahun Indonesia memperoleh hak independensinya. Pasti banyak yang bertanya tentang apa yang sudah kita capai selama 68 tahun ini. Sebagian besar menjawab dengan sinis bahwa kita masih dalam cengkraman penjajah. Kita belum merdeka, kita masih miskin, kita malu sebagai Indonesia, kita ini, kita itu. Pesimis, skeptis.

Hey, bisakah kita berhenti sejenak dan tenang? Mari lihat ke dalam diri, mengapa menjadi orang yang selalu berpikir negatif? Sinis? Pesimis? Banyak mengeluh tentang kita sebenarnya masih dijajah, masih belum merdeka dan lain-lain justru sebenarnya menjadikan kita sebagai orang yang tidak siap memerdekakan diri. Kita membelenggu diri kita sendiri jika membiarkan pikiran-pikiran seperti itu masih saja menggempur.

Kemerdekaan tidak melulu tentang negara, tetapi juga individu. Merdeka individu tidak didapat dari orang lain. Merdeka individu itu kita yang ciptakan. Caranya? Mudah sekali: bersyukur.

Bersyukur kita terlahir di Indonesia, sebuah negara yang telah merdeka sejak tahun 1945. Bayangkan jika hingga hari ini kita belum merdeka. Kita masih mengusung bambu runcing, berlari di tengah kepungan meriam, suara letusan senjata di mana-mana. Kita tidak akan bisa nongkrong di kafe, di pantai, di karaoke, di bioskop, di mall. Jadi, bersyukurlah.

Bersyukur kita lahir di Indonesia, sebuah negara yang kaya raya. Sandang, pangan, papan kita senantiasa terpenuhi. Jangan berani bermimpi kita terlahir di negara yang mencari air saja susah, apalagi makan dan pendidikan.

Bersyukur kita lahir di Indonesia, negara yang beriklim tropis. Panas, dingin, kering hujan tidak terlalu mengintimidasi. Bagaimana jika kita terlahir di negara yang musim dingin atau panasnya terlalu ekstrim hingga mengakibatkan korban jiwa? Ngeri.

Bersyukur kita lahir di Indonesia, tempat kita memimpikan dan meraih segala yang kita mau. Kita bisa melakukan yang kita mau, kita bebas memilih jalan, kita tak terkekang untuk memutuskan - dengan tanggung jawab tentunya.

Bersyukur kita terlahir di Indonesia, negara yang telah memberi kita terlalu banyak. Keamanan, kenyamanan, keindahan, kebebasan, dan keunikan. Saatnya kita memberi kembali pada Indonesia, hal yang sama yang telah Indonesia hadiahkan pada kita.

Memang, masih banyak yang harus dibenahi di Indonesia. Masih banyak yang harus dicapai Indonesia. Di 68 tahun usia Indonesia, mari kita dukung Indonesia sepenuh hati dan seterusnya. Tidak ada lagi keluhan, tidak ada lagi rengekan pesimistis. Mulai dari diri sendiri, lakukan yang terbaik untuk diri kita, yang juga bermanfaat untuk orang sekitar.

Ini Indonesia. Saya Indonesia.

Thursday, August 15, 2013

Memori Masa Kecil 6: Pagelaran Wayang


Saat usiaku 6 tahun, aku mendapat upah berupa pagelaran wayang kulit. Seharusnya, upah wayang ini digelar pada saat aku berumur 3 bulan. Namun, lagi-lagi karena keadaan finansial orangtuaku tidak mendukung kala itu, pagelaran wayang baru bisa diwujudkan saat aku sudah bisa calistung. Sedih.

Pagelaran wayang yang ditujukan sebagai upah atau hadiah itu diadakan di arena publik milik banjar/dusun. Berlokasi di depan balai banjar dan dalangnya adalah dalang Sidia yang waktu itu merupakan dalang paling wahid di banyak desa. Kalau zaman sekarang sih ada banyak dalang wayang yang terkenal, terutama dalang-dalang wayang Cenk Blonk-wayang kulit modern yang dilengkapi dengan sound system dan light effect. Wayang kulit klasik tradisional pun terpinggirkan karena kemajuan zaman dan kecanggihan teknologi.

Jujur saja, ketika aku berumur 6 tahun itu aku sama sekali tidak mengerti cerita wayang. Apalagi wayang klasik, adegan lucu sekali pun. Aku hanya bengong menontoni lamat-lamat bebayang di layar sambil terheran-heran pada suara dalang yang berubah-ubah sehingga membuatku menduga ada banyak dalang di belakang layar itu. Para tetangga rumah pun berduyun-duyun menonton hiburan yang jarang ada di waktu itu.

Satu-satunya hal yang paling kuingat kala itu adalah aku menonton di bangku penonton paling strategis dipangku oleh kakak sepupuku yang biasa kupanggil Bli Made Pung. Aku senang dipangku dan dimanja-manjanya. Aku adalah kesayangannya. Namun, tidak kukira jika malam itu adalah waktu terakhir yang  bisa aku habiskan bersamanya. Sesudah itu Bli Made Pung jatuh sakit dan menemui ajal.

Huft. Sedih sekali.

Wednesday, August 14, 2013

Memori Masa Kecil 5: Belajar Bersepeda


Aku termasuk sangat lambat dalam kemampuan mengendarai sepeda. Sampai sekarang pun kelambatan kemampuan mengendarai sepeda motor menjadi satu kelemahan terbesarku. Aku baru belajar mengendarai sepeda gowes ketika usiaku hampir 10 tahun. Saat itu, aku duduk di bangku kelas 4 SD. Teman-teman seusiaku bahkan adik-adik sepupuku sudah jago gaya lepas tangan dua.

Sepupuku dibelikan sebuah sepeda kecil dengan roda bantuan dua buah oleh orangtuanya. Aku begitu kagum memandang sepeda itu karena aku tidak pernah punya sepeda. Sedikit iri. Hanya saja, sebagai anak yang terlatih untuk memaklumi keadaan orangtua, aku diam saja. Aku berlari di belakang adik sepupuku yang semangat menggenjot sepeda. Ikut-ikut saja bergembira hingga akhirnya dia memperbolehkan aku meminjam sepedanya untuk belajar.

Aku belajar dengan keras. Terpeleset, terjatuh tidak jadi soal. Di dalam pikiranku hanya agar aku bisa. Lucunya, di saat adik sepupuku sudah bisa mengendarai sepeda tanpa roda bantuan, aku masih tertatih-tatih dengan dua roda bantuan di belakang. Secara bertahap sesuai dengan kemahiran dan keberanianku, satu roda bantuan dicopot. Perlu waktu lama untuk mencopot satu roda lagi karena aku masih ngeri. Sampai akhirnya, di saat adik sepupuku sudah mengendarai sepeda yang jauh lebih besar dengan rem kaki, aku baru bisa mengendarai sepedanya yang kecil tanpa roda bantuan sama sekali.

Yah, terdengar menyedihkan. So pathetic I am.

Memori Masa Kecil 4: Aku dan Kutu Rambut

Kutu. Kutu rambut. Iya, sumpah dulu semasa kecil rambutku berkutu.

Memelihara rambut panjang sudah aku jalani sejak kecil. Dulu rambutku panjangnya sebokong, bahkan lebih. Hanya dipotong ujung-ujungnya oleh ibu. Berangkat ke sekolah, maka akan jadi tugas ibu untuk mengepang dua rambutku juga rambut kakakku. Sayangnya, aku kutuan.

Kuat dugaan rambutku berkutu karena ketularan seorang tetangga yang menjadi kawan karib dulu saat masih kanak. Aku dan kakakku sering tidur bareng kawan kami itu. Dia secara umum diketahui sebagai anak kutuan dan kutu di rambutnya termasuk yang susah dibasmi. Mungkin karena seringnya kebersamaan kami membuat kutu-kutu itu dengan leluasa lompat ke kepalaku dan menetaskan telur-telurnya di sana. Asli, gatal mampus.

Akhirnya, bapak membelikan aku dan kakakku obat kutu rambut. Botolnya kecil dari plastik murahan dengan logo yang ditempel asal-asalan. Warna cairan di dalamnya merah muda. Cairan anti kutu itu juga memiliki wangi yang luar biasa dahsyatnya. "Seperti hand-body," begitu dulu aku bilang. Setelah aku sedikit punya pengetahuan karena semakin besar dan pintar, barulah aku tahu obat anti kutu itu namanya Peditox.

Ibu mengoleskan obat itu ke kulit kepala dan rambutku. Lalu rambutku yang basah karena obat itu digelung dan dibungkus tas kresek. Didiamkan hampir satu jam dan setelah kreseknya dilepas, ratusan induk kutu serta anaknya tewas di dalam kresek. Semenjak itu, kutu-kutu seperti ogah singgah di kepalaku.

Temanku? Masih kutuan. Tapi, sekarang tidak lagi. Entah dia pakai Peditox atau apa.

Memori Masa Kecil 3: Nenek dan Cempaka


Nenek adalah salah satu sosok yang turut mengiringi masa kecilku. Nenekku berbadan mungil dan berkulit putih. Wajah nenekku cantik dan rambutnya panjang bergelombang. Aku suka sebal kalau diminta mencari uban oleh nenek. Bagaimana tidak sebal? Hampir seluruh rambutnya telah menjadi uban sehingga aku bingung mau mencabut yang mana.

Selain mencari uban, kegiatan yang sering dulu aku lakukan bersama nenekku adalah pergi ke uma (sawah). Sawah itu milik kakek. Di sana selain tertanam padi, juga tertanam bunga pacar, pohon mangga, pohon sukun, dan satu pohon bunga cempaka. Nah, bunga cempaka ini yang punya kenangan tersendiri.

Sering kali, nenek mengajak cucu-cucunya berjalan ke uma. Perjalanan yang cukup jauh yaitu hampir 2 kilometer. Aku, kakak dan sepupu mengikuti nenek dengan ceria dalam perjalanan itu. Tidak ada yang mengeluh soal jauhnya jarak yang harus kami tempuh dengan kaki-kaki pendek kami, yang ada cuma riuh kicauan kami bercerita ini-itu.

Di sawah, kami akan menunggui nenek di bawah pohon cempaka yang besar itu. Nenek sedang memanjatnya. Nenek memetik bunga-bunga cempaka dan menjatuhkannya ke tanah. Tugas kami ialah memunguti bunga-bunga cempaka yang dijatuhkan nenek. Jika dikira sudah cukup oleh nenek, atau bunga yang mekar sudah habis, nenek akan turun lalu membungkus bunga yang kami kumpulkan dengan daun pisang. Selanjutnya kami bermain-main hingga sore tiba untuk kami pulang.

Bunga cempaka yang dikumpulkan biasanya akan dijual nenek ke pasar atau ke tetangga. Dijual seharga Rp 1000 lalu dibagi kepada cucu-cucunya masing-masing Rp 100. Diberikan upah segitu banyak menjadikan kami selalu ingin ikut ke uma. Tidak apalah menempuh perjalanan jauh asal kami dapat uang.

Dan nenek meninggal saat aku berusia 13 tahun.

Tuesday, August 13, 2013

Memori Masa Kecil 2: Bapak dan Rokok


Semenjak memori akan Nyoman Latra menghampiri, memori-memori lain juga turut hadir. Mereka mampir di kepalaku, tumpang-tindih, singkat dan acak. Salah satunya adalah ingatan akan bapakku yang dulu seorang perokok tingkat akut.

Bapak merokok seperti perokok aktif pada umumnya. Satu bungkus rokok sehari. Jika rokoknya habis, maka aku adalah yang ditunjuknya untuk membeli rokok. Kalau ada duit, beli sebungkus. Kalau tidak ada, cukup sebatang atau dua batang.

Aku ingat sekali merek rokok yang digemari bapakku: Bentoel Biroe dan Crystal. Harganya waktu itu Rp 200/batang. Upahku untuk membeli rokok di warung milik tetangga kami yang bernama Mutru (alm) adalah Rp 50. Upah itu cukup untuk membeli jajan seharian. Aku pun senang.

Ada satu cara unik bapak dalam merokok. Bapak sering meneteskan minyak angin ke spons filter rokok sebelum menyalakan dan menghisapnya. Dulu belum ada rokok rasa mint atau menthol, mungkin maksud bapak adalah untuk mendapatkan sensasi dingin semriwing di rokoknya. Ah, ada-ada saja.

Namun, bapak memutuskan untuk berhenti merokok. Berhenti sama sekali tanpa tahap pengurangan. Maka, hilang sudah satu penghasilanku. Tapi, aku tetap senang karena bapak hidup lebih sehat.

Ciao!

Memori Masa Kecil 1: Nyoman Latra


Ibuku mengoceh di dapur sepulang kami dari sembahyang Saraswati di Pura Pasupati. Entah apa topik kami pada siang itu, yang jelas ada sebuah kata atau tepatnya sebuah nama yang beliau sebutkan menyentak memori masa kecilku: Nyoman Latra.

Ingatanku mencuat dan berlari cepat pada sosok seorang bapak berbadan tambun. Kumisnya melengkung lebat di bawah hidung. Topi petani bertengger di atas kepalanya. Sebuah sabit terselip di punggungnya. Tanpa alas kaki, dia berjalan menatap lurus dengan mata bulat. Sangar.

Anak-anak yang melihatnya akan langsung lari kalang kabut masuk ke dalam rumah. Termasuk aku. Betapa aku gemetaran kalau orangtuaku menakuti dengan mencatut nama Nyoman Latra. Sering ibuku bilang, "Sana, main di jalan! Jangan tidur siang! Nanti Nyoman Latra lewat, digorok kamu!" Maka, nyaliku ciut dan aku tanpa protes langsung merangkak ke tempat tidur.

Kini, di usiaku yang sudah seperempat abad, aku memandang kembali adegan-adegan itu dengan penuh curiga. Kenapa aku dulu dan anak-anak kecil lainnya sangat takut pada Nyoman Latra? Apakah karena ancaman-ancaman orangtua kami yang membuat Nyoman Latra tampak seram? Atau memang penampilan fisik Nyoman Latra yang membuat kami bergidik ngeri? Dugaanku yang kedua. Sementara orangtua kami hanya memiliki pengetahuan akan ketakutan kami dan memanfaatkannya dengan baik.

Apakah Nyoman Latra tahu bahwa dia dulu sangat ditakuti oleh anak-anak? Jika dia tahu, bagaimana perasaannya? Apakah dia sedih? Apakah dia merasa benci? Apakah dia merasa diperlakukan tidak adil oleh lingkungan dan Pencipta karena sesungguhnya dia pun manusia biasa?

"Sampai sekarang anak-anak kecil di sini takut sama Nyoman Latra," ungkap ibuku seperti mengerti pikiranku.

Kasihan.