Mengenal Abang adalah sebuah anugerah. Mengenal Abang adalah
sebuah pembelajaran. Mengenal Abang adalah sebuah perjalanan.
Berawal dari Badoo, sebuah jejaring sosial seperti Facebook,
aku mengenal Abang. Motivasiku semata-mata karena menyangka dia bule. Well, I
was joining Badoo to meet up with some bule in Bali, to get free dinner. Foto profil
Abang sungguh tampak bule sekali. Jadi, kusapa dia dengan bahasa Inggris. Cas
cis cus cas cis cus. Barulah aku tanya asal dia dari mana. Bandung.
Jendeeeenggg! Ada batu kali segede gambreng mendarat mantap di atas kepalaku.
Aku tidak percaya. Aku menuntutnya, (dalam bahasa Indonesia berharap dia tidak
mengerti dan meyakinkan diriku sendiri dia bule), alasan menggunakan foto bule
di profil. Dia tertawa dan mengatakan dia tidak pakai foto orang lain dan
memang banyak yang mengira dia bule. Dia maklum akan kekalapanku dan aku mahfum
akan kebulean wajahnya. Kami tetap berbincang dan anehnya, dari sekian banyak
cowok Indonesia yang mendekatiku di Badoo, aku hanya nyaman ngobrol dengan
Abang. Dia bisa aku ajak bercerita dari A-Z lalu balik ke D dan lompat jauh ke
Y tanpa ada sambungan yang putus. Dia luar biasa menyenangkan. Berbincang
dengannya (walaupun hanya sesekali) membuatku merasa spesial.
Aku bercerita pada sahabatku yang sesama penggemar bule dan
dia mendelik tidak percaya sambil berkata, “Singkong, Jeng? Dirimu berselera
singkong sekarang?” FYI, Singkong merupakan istilah singular kami untuk orang lokal,
sementara untuk istilah plural kami menggunakan kata Pelagis. Bersikeras aku katakan
pada temanku itu bahwa tentu saja seleraku masih keju (baca: bule). Abang pun
tahu itu. Anyway, Abang tidak 100% singkong. Dia berdarah campuran macam Harry
Potter. Bapaknya Arab-Indo, Ibunya Malaysia. Maka, belakangan aku semakin
maklum akan wajahnya yang nampak bule (Arab).
Dari Badoo aku dan Abang bergerak ke Yahoo Messenger. Di sana
sebagian besar percakapan ini selama ini terjadi. Waktu di Badoo, Abang masih
bekerja di Bali. Kami merencanakan bertemu, namun belum terwujud. Ketika mulai
di YM, Abang berkabar bahwa dia sudah kembali ke kantor di Jakarta dan pasti
akan kembali ke Bali karena proyek di Bali belum selesai. Aku agak kecewa, tapi
tak apa, nanti juga dia kembali, pikirku.
Lama kegiatanku di Badoo tidak aktif. Saat aku kembali
membuka akun Badoo, banyak undangan perkenalan yang muncul. Randomly I chose
one of those bunches of profiles. Aku memilih Alex. Hanya karena sepi saja aku
memilih dia. Di luar dugaan, Alex yang gendut jelek itu punya niat yang
melebihi kapasitas badannya. Kami bertemu dan makan malam lalu menonton film,
standar first date. Aku tidak suka, hanya mau cari gratisan. Waktu itu aku
sudah menyadari, hatiku hilang dibawa siapa. Lalu Alex jadi sering menjemputku
ke tempat kerja dan usahanya menaklukkan aku patut diacungi jempol Godzilla.
Aku masih teguh tidak tergoda dan menceritakan ke Abang bahwa ada bule gendut
jelek dari Australia yang mati-matian berusaha mendapatkan hatiku. Abang balik
menggoda, “Nanti jatuh cinta beneran loh.” Dengan modus makan malam gratis, aku
tetap mau diajak keluar oleh Alex. Abang menghilang.
Aku tidak menghitung berapa lama Abang menghilang dari
orbitku. Lumayan. Selama masa menghilang tersebut aku berusaha terus berada
dalam jarak pandangnya: mengirim chat di YM-nya yang tidur pulas. Sampai
akhirnya Alex melamarku dan aku merasa tidak berhak menyakiti dia yang selama
ini sungguh menakjubkan baiknya padaku, aku bilang “Ya”. Aku berpikir mungkin
aku tidak pantas untuk mendapatkan seseorang yang telah mencemari hatiku dengan
kangen dan cinta karena orang yang kucinta itu raib entah kemana. Lagipula mana
mungkin dia memilih aku yang buruk rupa begini, wong dia nggantenge
nemen-nemen. Haha. Jadi, dengan keputusasaan dan tanpa tahu kenyataannya waktu
itu, aku menghibur diri dengan berkata, “Kupilih orang yang menganggapku pantas
untuk mendampinginya.” Alex adalah hadiah hiburan. Sementara orang yang
berhasil memiliki hati dan cintaku ini adalah hadiah utama.
Dia kembali. Muncul. Hidup lagi setelah sekian lama
hibernasi. Abang. Kusembunyikan perasaan sesal, kecewa, riang, benci, dan sedih
di belakang punggungku. Penuh kegembiraan YM itu kusapa. Kuhujamkan langsung
sesalku dengan berkata “Abang… Ade udah tunangan! Ade mau nikah!” dengan nada
seriang mungkin ditemani emoticon tersenyum lebar. Dia menanggapinya dengan
normal bahkan dengan candaan. Semua terasa dalam jalurnya kembali. Berbincang ini
itu dan aku yang penasaran kenapa dia menghilang selama ini tetap menuntut
jawaban atas semua pertanyaan yang kuajukan. Awalnya dia enggan bercerita,
namun sekali lagi aku berhasil membujuknya untuk bercerita. Mendengar apa yang
dialaminya, airmataku menetes. Di kepalaku bermunculan gambar: aku berlari
menghambur ke arah Abang, memeluk dia erat-erat, mengatakan semua akan
baik-baik saja. Di depan mataku: layar laptop dengan jendela YM terbuka,
memandangi foto Abang yang berwajah tirus dan badannya kurus.
Setiap hari berkomunikasi dengan Abang. Lewat YM tentu saja.
Berusaha menegakkan punggung Abang, mendongakkan dagunya dan memberi sinar
bahagia di matanya. Mendukungnya sepenuh jiwa. Meski aku sendiri rasanya ingin
menyerah saja. Aku berusaha sebaik mungkin memberikan telinga untuk mendengar,
memberikan cerita untuk didengar dan tawa lepas untuk menggembirakan. Pembicaraan
kami masih tetap sama: dari A-Z balik ke F dan mundur lagi ke A lalu melompat
ke W tanpa ada tali penghubung yang putus. Dia masih menyenangkan. Aku yang
bercita-cita memeluk Abang mengiriminya sebuah jaket (konyolnya, aku asal ambil
ukuran dan jadilah tidak cukup di badan Abang).
Abang berkabar lagi bahwa dia harus ke luar negeri. Berangkat
ditemani Ibu tanggal segini. Aku berpesan agar dia tidak lupa menghubungiku.
Dia memegang teguh janji itu walaupun butuh waktu yang cukup lama juga buat dia
untuk bisa menghubungiku. Aku maklum karena aku tahu mengapa. YM tetap menjadi
perantara kami ketika dia di luar negeri. Sampai dia membuat akun facebook, aku
yang pertama kali mencoret dindingnya. Dia memajang fotonya dan aku protes
kenapa tidak terlihat wajah. Dia memenuhi permintaanku untuk mengunggah foto
yang tampak jelas wajahnya, tapi di YM. Setelah melihat fotonya aku mohon ampun
pada Abang untuk tidak memberiku foto lagi. Aku lemas memandangi saking
gantengnya. Haha.
Sempat aku marah pada Abang saat sekali lagi kisahnya ditaburi
kesedihan lain. Dia memposting status-status di Facebook seperti dia akan menyerah,
seperti dia akan kalah. Aku mencium aroma putus asa. Aku sendiri merasa gagal
karena tidak berhasil membuatnya bahagia. Aku merasa aku tidak berguna. Tapi,
aku tidak mau jatuh begitu saja. Aku tidak mau bersedih terus karena jika aku
menyerah, who will fight? Aku tetap berupaya berdiri tegak di sisi Abang,
serapuh apapun dia.
Abang kembali ke Jakarta. Kembali bekerja. Kembali seperti
sedia kala. Yah semoga saja, doaku selalu dalam hati. Kini kami lebih dekat
lagi karena bisa saling mengirim pesan singkat dan tak jarang saling menelepon.
Demi hemat biaya menelepon aku membeli sebuah simcard dengan operator sama
dengan nomor Abang. Di telepon kami berdebat, aku meminta lagu, aku meminta dia
menyanyi, aku meminta tebak-tebakan, dia bercerita, aku mendengar, tertawa, dan
sempat pula aku marah hingga tak menjawab panggilannya dan berbaikan lagi. Manusiawi
sekali. Aku menuntut dia untuk punya pacar dan dia selalu mengaku punya
gebetan. Kutarik kesimpulan dari semua gadis yang dia ceritakan: Cinta mereka tidak
mungkin bersatu. Bagaimana tidak? Bayangkan satu gadis yang dia taksir sudah
punya pacar, gadis lainnya beda agama, gadis selanjutnya tidak jelas statusnya
masih menikah apa sudah bercerai. Aku gemas sendiri mengapa dia tidak bisa cari
cewek yang pas. Masa naksir yang sudah menikah? Protesku.
Mungkin dia lelah dan aku pun penat. Akhirnya kami berani
jujur bahwa kami saling mencintai. Hanya saja waktunya tidak tepat karena aku
sudah bersama Alex. Aku menangis tidak henti selama bermalam-malam. Menangisi
keadaan yang kacau, mengutuki Tuhan semoga Tuhan mati muda. Abang meminta agar
aku tidak mengecewakan Alex karena dia tahu persis rasanya sebuah
pengkhianatan. Namun, hati tidak bisa berbohong, dari awal cinta ini sudah ekslusif
milik Abang. Abang pun merasa mesti tahu diri karena aku sudah ada yang
memiliki.
Hubungan kami masih berjalan di setapak seharusnya tanpa
banyak perubahan sampai pada satu titik Abang berkata, “Abang capek, De.”
Mencintai seseorang yang tidak mungkin dimiliki, mungkin itu maksudnya. Dia memutuskan
untuk bersama seorang gadis lain. Gadis yang tampak baik dan bisa menerima
segala kekurangan Abang. Meski tidak ikhlas dan tidak rela dan penuh
kecemburuan yang menghancurkan hati, aku melepas Abang ke gadis ini.
Sampai cerita ini kutulis, Abang tidak berkabar lagi.
Terakhir aku kirim sms tanggal 12 November 2012, memintanya mendengarkan lagu
kesukaanku. Tidak ada balasan. Kembali ada slide gambar di kepalaku: Abang dan
gadis itu menikmati waktu bersama, berbahagia. Abang sudah mencintai gadis itu,
melupakan aku.
Kita tidak pernah tahu kepada siapa kita akan jatuh cinta
dan kepada siapa raga ini kita serahkan. Seperti aku yang memimpikan seorang
pria bule sejak umurku masih belum genap 8 tahun, kini jatuh cinta pada seorang
Abang. Mencintai Abang adalah perasaan paling mulia (gila?) yang pernah
kupunya.
Berbahagialah, Abang. Titik dua tanda bintang, Superman!
-si kecil mungil yang tidak pernah bisa rela dan ikhlas-
No comments:
Post a Comment