Friday, November 30, 2012

Sosok di Nasi Goreng

Sepiring penuh nasi goreng tersaji di hadapanku. Tampak lezat menggiurkan. Si pramusaji masih sibuk meletakkan sendok dan garpu di mejaku lalu dengan cerkas dia meletakkan sewadah mungil acar mentimun yang segar dan sewadah kecil cabe rawit potong. Kembali ke nasi gorengku. merah saosnya menggoda gairah. Ada udang-udang kecil malu-malu menyembul di sela bulir nasi yang pulen. Kacang polong rancak dengan warna hijaunya, menghangatkan diri bersama nasi yang mengepul. Wangi seledri cincang menyeruak, menghujaniku dengan selera. Aku bersiap menyantap, menghujamkan sendok dan garpu ke gundukan nasi yang gembira itu. Namun, sendokku tetap mengangkasa, garpuku melayang di udara.

"Kenapa? Yuk, makan!" kernyit Dina, seorang sahabat yang kuajak makan malam. Dia pesan koloke. Aku terdiam dan mengamati nasi gorengku. Seketika aku menggeleng kebas. Tidak mungkin. Dina tidak sabar dan mulai menyantap kolokenya dengan nikmat.

Nasi goreng itu... tidak sanggup kumakan. Secara tiba-tiba dia memberikan jelmaan sesosok pribadi yang aku kenal. Ada wajah sosok itu di tiap biji nasi yang terhampar di piringku. Sosok itu membunglon merah agar sama warna dengan nasi. Ah, muak sekali! Udang-udang kecil yang tak berkepala secara mengejutkan memakai kepala sosok itu. Tersenyum sampai akhirnya tertawa terbahak-bahak. Ah, dia memang kepala udang! Lalu, kawanan kacang polong membentuk bola-bola mata sosok itu. Melotot dan nyalang. Koloni seledri cincang kompak membangun gerai-gerai halus rambut sosok itu. Lalu beriringan cabe rawit dan acar mentimun menyajikan visual bibir sosok itu yang menawan, yang belum pernah sekalipun kukecup.

Dia tetap bertahan di sana, di nasi gorengku. Aku kumpulkan seluruh daya di dalam tubuhku untuk mampu menyendok sesuap dirinya. Berhasil. Kubuka mulut dan kujejalkan dia di sana. Kalap. Kukunyah lama-lama sampai terasa glukosa. Sesendok lagi, lagi, lagi, bahkan yang beterbangan ke luar piring aku punguti. Aku telan semua. Pahit dan asam mentimun, pedas cabe, manis nasi, asin udang, tawar polong dan seledri. Tidak akan kusisakan.

"Pelan-pelan aja. Film yang mau kita tonton belum mulai kok," ujar Dina lagi tetap dengan pandangan heran. Koloke masih memenuhi separuh piringnya. Aku tidak mau melambat karena semakin aku melambat, semakin lama sosok itu bercokol di sana. Kutandaskan semua. Tidak ada bulir nasi tersisa, kawanan udang punah, koloni seledri hilang, kumpulan kacang polong tiada, acar dan cabe raib. Piringku bersih.

Lega, sosok itu sudah musnah. Dia akan menjadi korban lambungku yang digestif. Aku tidak peduli lagi. Toh, dia hanya akan jadi sekresi dari metabolismeku.

No comments:

Post a Comment