Sunday, August 27, 2017

Kubiarkan Saja (4)

Seminggu setelah kunjungan mendadak adiknya (yang sekaligus teman semasa kuliahku) ke rumah, aku tidak dapat berhenti memikirkan dia. Sungguhkah dia menunda-tunda pernikahan hanya karena merasa bersalah padaku? Sejak kapan rasa bersalah itu menghinggapinya? Apa dia benar-benar menjadi kacau setelah tidak lagi bersamaku? Apa benar-benar karena aku?

Aku raih handphone-ku dan mengetikkan namanya di kontak WhatsApp. Ya, aku masih saja menyimpan nomornya setelah lama berpisah. Aku tidak ada niatan sama sekali untuk menghapusnya karena aku percaya: membiasakan diri dengan satu hal yang menyakitimu akan membuatmu semakin kuat. Ah, ini dia. Dia online.

Aku berhenti sejenak di chat box, memikirkan apa yang akan kukatakan kepadanya. Jantungku berdebar karena ini akan jadi yang pertama kalinya sejak tujuh tahun lalu aku menghubunginya kembali. Apa yang akan aku katakan? Bahwa adiknya datang menuntut pertanggungjawabanku? Tidak. Pasti adiknya telah terbang ke Tangerang menemuinya segera setelah dari sini. Bahwa aku memaafkan dia atas kekonyolan yang dia perbuat padaku? Tidak, bukan itu. Dia tahu aku telah memaafkannya meski tak pernah terucap. Bahwa dia tidak usah merasa bersalah hingga menunda pernikahan? Bahwa dia tidak usah ragu menikahi siapapun itu? Hey, memangnya aku siapa mengatakan itu padanya? Tidak, bukan yang itu juga.

Bahwa aku masih sangat menyayanginya dan aku kangen?

Oh, tidak.

***

24 jam setelah aku kirim pesan WhatsApp, dia tidak juga membalasku. Dua centang biru telah terpampang jelas di sana. Kenapa dia tidak membalasku? Mungkinkah dia mengabaikanku? Dia mengabaikanku. Dia mengabaikanku. Dia mengabaikanku. Dia mengabaikanku dengan sengaja.

Prasangka ini membuat kepalaku tak berhenti berpikir hingga pusing. Decit sakit kurasakan nyata di dadaku. Aku pening sekaligus sedih.

48 jam. 72. 96. 120. 144. 168.

Aku mulai lelah menunggu seminggu. Dia tetap tidak membalasku. Sekali lagi, aku harus mengikhlaskan. Inilah yang dia mau: pergi dariku meski semesta berulang kali memaksa temu.


No comments:

Post a Comment